Sabtu, 10 Desember 2011

Orang Kaya VS Orang Miskin

Oleh : Zamid al Zihar


   Orang miskin atau orang yang keadaan ekonominya boleh dibilang kurang beruntung, kenyataan dalam kehidupannya begitu menyedihkan, jangankan pemenuhan kebutuhan sandang, untuk kebutuhan pangan atau untuk bisa makanpun mereka harus berjibaku dengan berbagai kesulitan. Dengan keterbatasan ilmu atau pendidikan yang dimilikinya, mereka berupaya mempertahankan hidupnya di antaranya menjadi buruh kecil, kuli atau pembantu rumah tangga. Tidak sedikit juga yang memilih jalan mengandalkan belas kasihan orang lain dengan cara meminta-minta baik di jalanan ataupun dari rumah ke rumah. Bahkan yang paling memprihatinkan mungkin atas dasar tuntutan penghidupan serta kurangnya pendidikan akhlak, tidak sedikit di antara mereka yang terjerumus kepada kejahatan. Itulah kerasnya perjuangan kehidupan mereka, tidak terpikirkan harus punya rumah, tidak terpikirkan harus punya pakaian layak, yang terpikir oleh mereka hanyalah bagaimana bisa memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya.

   Namun demikian adakalanya orang-orang kaya tidak adil dalam sikap dan cara pandang terhadap keberadaan orang-orang miskin. Banyak orang kaya yang memandang rendah dan hina terhadap mereka, dan tidak sedikit juga yang melecehkan harga dirinya semisal penganiayaan-penganiayaan baik secara fisik maupun psikis, terlebih lagi kepada mereka yang melakukan kejahatan. Orang-orang miskin acap kali menjadi kambing hitam dalam segala hal keburukan. Ada yang mengatakannya sebagai perusak pemandangan karena banyaknya yang terlunta-lunta ataupun yang meminta-minta di areal perkotaan terlebih kekumuhan karena rumah-rumah kardus yang mereka bangun di sembarang lokasi, dan ada juga yang mengatakannya sebagai sampah masyarakat karena perbuatan buruknya yang acap kali mereka lakukan. Seperti contohnya terhadap kasus pencurian sepotong rel kereta yang tentunya merugikan dan membahayakan banyak orang, orang kaya banyak yang kesal dan geram lantas mencaci maki dengan perkataan “Dasar tidak punya moral dan hatinya sudah tertutup!” Ada juga yang menyerukan, “Janganlah menyalahkan kemiskinan hingga bisanya menghalalkan segala cara, tidakkah bisa mencari pekerjaan yang lebih halal!”, dan banyak lagi perkataan-perkataan lainnya yang sifatnya menghujat. Kejahatan memang perbuatan yang dibenci oleh Allah, akan tetapi pantaskah orang kaya mencaci maki seperti itu?

   Padahal kalau mau jujur begitu banyak orang-orang kaya yang melakukan kejahatan, katakan para koruptor yang justru merugikan negara dan dampaknya sangat berpengaruh kepada tingkat kesejahteraan masyarakat secara global di negeri ini. Maaf, mungkinkah mereka menjadi kaya karena hasil korupsi? Bisa-bisa karena ulahnya para koruptor yang menjamur tanpa mengenal musim, menyebabkan masalah kemiskinan di negeri tercinta ini sulit tertanggulangi. Itulah barangkali kejahatan yang sebenar-benarnya. Bentuk ketidak adilan lainnya sering terjadi dalam hukum peradilan, di mana orang-orang miskin yang melakukan kejahatan senilai tidak lebih dari ratusan ribu rupiah harus mendekam di sel berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi apa yang terjadi terhadap penjahat kakap sekelas Gayus dengan nilai kejahatannya puluhan milyar rupiah? Jika saja menghitung sanksi secara matematis atas nilai kejahatan seseorang, lalu kita mencoba membandingkan kenyataan sanksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan dengan nilai tidak seberapa, maka akan sulit dibayangkan berapa lama seharusnya seorang seperti Gayus diganjar. Begitu kusamnya peradilan bagi orang-orang miskin, belum lagi perlakuan buruk yang dideritanya. Begitu indahnya peradilan bagi orang-orang kaya, belum lagi perlakuan manis yang diterimanya.

   Tidak sepenuhnya benar kalau ada yang mengatakan bahwa kebodohanlah yang mengakibatkan kebanyakan orang menjadi miskin, padahal bisa sebaliknya karena factor kemiskinanlah yang membuat mereka bodoh. Mari sejenak berdialog dengan hati terdalam. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa begitu sulitnya orang-orang miskin untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya? Pernah jugakah terpikirkan bahwa dampak dari kemiskinannya mereka menjadi bodoh karena tentunya disebabkan oleh keterbatasan pemahaman serta kemampuannya untuk memperoleh pendidikan? Pernahkah kita mencoba melepaskan dan membiarkan hati serta perasaan kita untuk mengembara jauh ke posisi seolah-olah sebagai orang miskin? Kalaupun pernah, kemungkinannya hanya sebatas membayangkan permukaannya saja tanpa menyentuh kepada hakikat yang sesungguhnya. Renungkan, seandainya sedikit saja kita mencoba menyatu dalam perasaan dan penderitaannya, maka ada kemungkinan cara pandang kita terhadap mereka akan lebih bijaksana. Lantas terhadap adanya kondisi seperti ini, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab? Atau tetapkah membiarkan mereka karena beranggapan bahwa kebodohanlah yang menjadikan mereka miskin?

Pandangan Kebanyakan Orang kaya.

   Terhadap dirinya sendiri kebanyakan orang kaya memandangnya sebagai orang-orang yang sukses. Mereka merasa bahwa kesuksesannya itu lebih dikarenakan hasil dari kepandaiannya serta hasil dari usaha kerasnya. Dengan bangga pula mereka berpikiran bahwa kemudahan-kemudahan dalam mendapatkan kekayaannya entah itu dari jalan baik atau tidak baik adalah semata anugrah dari Allah. Mungkin semua itu benar adanya, akan tetapi dalam kenyataannya terkadang mereka lupa mensyukuri. Keduniaan dinikmatinya begitu khusyu tanpa memperdulikan keadaan orang lain. Kekayaan dianggapnya sebagai label atas kesuksesannya, sehingga dalam membelanjakannya lebih kepada kesenangan diri sendiri. Membagi kesenangan dilakukannya juga terhadap generasi (anak-anak)nya dengan cara membiarkan mereka menjadi tuan-tuan kecil dalam pergaulannya yang sarat akan warna warni keduniaan. Gemerlap dunia seolah kekuasaannya di mana orang lain seolah tidak mempunyai hak untuk menikmatinya. Barangkali itupun benar, karena orang miskin dipastikan tidak akan mampu menikmatinya walaupun hanya sekedar dalam sebuah bayangan.  

   Terhadap orang miskin tidak sedikit orang kaya berpandangan bahwa kemiskinannya karena atas kebodohannya. Mereka dianggapnya sebagai orang yang malas bekerja dan malas berusaha, terlebih terhadap mereka peminta-minta di jalanan yang seolah hanya mengandalkan belas kasihan orang lain. Mungkin saja anggapan itu ada benarnya, akan tetapi kenyataannya banyak orang miskin yang kesulitan mendapatkan pekerjaan layak karena terganjal oleh rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Terkadang orang-orang kaya tidak menyadari bahwa cara pandang orang miskin terhadap masa depan yang notaben mereka bodoh berbeda dengan kebanyakan orang pandai. Mereka (orang miskin) hanya mampu berpikir sebatas bagaimana untuk bisa mengisi periuk nasinya, sehingga meskipun disediakan pendidikan gratis tetapi kebanyakan mereka lebih menekankan kepada generasinya untuk fokus kepada mencari uang. Adapun orang-orang kaya yang terketuk hatinya, mereka membagikan sebagian hartanya kepada orang-orang miskin, namun sepertinya tidak syah kalau tidak ditonton oleh banyak orang seperti yang kita lihat di layar kaca, itupun kenyataannya bukanlah kebaikan yang didapatkan malah justru sebaliknya tidak sedikit orang-orang miskin yang mengalami penderitaan dalam antrian panjang.

   Terhadap masa depan, orang-orang kaya pada umumnya lebih fokus memikirkannya, sehingga kerap mengaplikasikan kekayaannya kepada hal-hal yang akan menunjang kemudahan dalam mencapai tujuannya. Seperti pada kenyataannya mereka lebih giat menumpuk harta kekayaan, berinvestasi dalam suatu usaha, menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang lebih tinggi dan lain sebagainya. Positif memang, namun kebanyakan mereka melupakan pendidikan ahlaki yang justru akan membangun kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki.

Pandangan Kebanyakan Orang Miskin

   Terhadap dirinya sendiri kebanyakan orang miskin memandang keberadaannya sebagai orang yang bernasib kurang baik. Mereka merasa bahwa untuk merubah hidupnya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tidak ada yang bisa dibanggakan selain perjuangannya yang keras. Akan tetapi atas tekanan penderitaannya terkadang menjadikan hati mereka buta dan pandangan mereka gelap, sehingga tidak sedikit yang mencari peruntungan dengan jalan tidak baik. Barangkali karena kurangnya pendidikan terlebih pemahaman agama membuat mereka tidak menyadari bahwa kemiskinannya adalah merupakan kehendak-Nya yang sesungguhnya juga patutlah disyukuri.  
  
   Terhadap orang kaya kebanyakan mereka menaruh rasa sungkan dan segan. Entah karena arogansi orang-orang kaya, sehingga banyak orang-orang miskin yang berperilaku begitu tunduk dan mengekspresikan sikap hormatnya dengan cara berlebihan. Apalagi terhadap orang-orang kaya yang berlaku sebagai majikannya, sepertinya mereka begitu takut dan mengagungkannya seakan keagungannya melebihi Tuhan. Terlepas dari hal tersebut, adakalanya  penyakit hati membelokan pandangan lurus orang miskin, sehingga tidak sedikit mereka yang berpikiran negatif dan menebar su’udhon terhadap mereka yang kaya, semisal mengatakan bahwa kekayaannya didapat dari hasil tidak halal ataupun hasil perbuatan syirik dan lain sebagainya.

 Terhadap masa depan, pada umumnya orang-orang miskin tidak sempat memikirkannya. Mereka lebih kepada memikirkan bagaimana bisa makan hari ini, esok dan lusa. Bagi mereka sepertinya yang dikatakan masa depan itu adalah besok dan lusa, bukan lima tahun atau sepuluh tahun yang akan datang, sehingga kebanyakan mereka mengabaikan pendidikan generasinya yang justru paling tidak akan membantu kepada pencapaian kehidupan yang layak. Tidak bisa disalahkan juga, mungkin karena selain keterbatasan pemahaman juga keterbatasan biaya, sehingga mereka tidak mampu berbuat banyak. Adapun pada kenyataannya program pendidikan gratis yang disodorkan pemerintah pada umumnya hanyalah sebatas gratis terhadap SPP bulanan saja, tidak untuk pakaian seragam ataupun lain-lainnya. Seberapapun besarnya biaya, bagi orang-orang miskin dirasakannya begitu memberatkan.

Kaya dan Miskin Adalah Sunatullah.

   Dalam konteks ini tentu ada hukum keseimbangan yang diciptakan sedemikian rupa oleh Allah SWT.  Berpasang-pasangan adalah Sunatullah. Ada baik dan buruk, sebab dan akibat, siang dan malam, laki-laki dan perempuan, orang kaya dan orang miskin, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu merupakan ketentuan-Nya dalam pengaturan keseimbangan terhadap bergulirnya roda kehidupan manusia yang begitu sempurna. Mari kita bayangkan, andai saja di dunia ini dihuni oleh orang kaya semua atau sebaliknya orang miskin semua, maka apa yang akan terjadi. Dalam hal keberadaan orang kaya dan orang miskin tentunya sudah diatur oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an :

”dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan dan menyempitkan rejeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.” (Az Zumar, QS 39:52)

   Menyimak kandungan ayat tersebut, maka jelas bahwa besarnya rejeki seseorang telah diatur oleh Allah SWT dan satu sama lainnya tentunya akan berbeda, artinya adanya orang kaya atas sebab Allah melapangkan rejekinya dan adanya orang miskin atas sebab kehendak-Nya juga menyempitkan rejekinya. Oleh karena itu, hendaknya orang-orang miskin atau orang-orang yang disempitkan rezekinya senantiasa melapangkan hati dengan mensyukukuri apapun keadaan yang diberikan-Nya serta menjauhi prasangka negatif terlebih su’udhon kepada orang-orang yang dilebihkan rezekinya. Begitu juga orang-orang kaya atau orang-orang yang dilebihkan rezekinya, seharusnyalah berlaku bijaksana dan mensyukuri apa yang didapatkannya dengan cara berbagi kepada orang-orang miskin, karena tentunya semua itu sudah merupakan keputusan Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an :

”Maka (sebagai sikap rasa bersyukur) berikanlah kepada kerabatmu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; pemberian yang demikian adalah baik bagi orang-orang yang bertujuan memperoleh keridhaan Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ar-Ruum, QS 30 : 38).

Bahkan dalam ayat lain dikatakan bahwa belum sempurna kebaikan seseorang apabila belum melaksanakan apa yang disyariatkan-Nya yakni menafkahkan sebagian harta yang dicintainya kepada kaum fakir miskin, sebagaimana firman-Nya :

”kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ’Imran, QS 3 : 92).

Kaya Dan Miskin Adalah Ujian

   Pandangan orang kaya terhadap orang miskin dan sebaliknya pandangan orang miskin terhadap orang kaya terkadang menjadi sebuah friksi perilaku sosial yang sulit disatukan, sehingga menyebabkan terbentuknya sebuah jurang pemisah yang begitu lebar. Orang-orang kaya ingin dihormati sementara orang-orang miskin inginnya dihargai, lalu timbul sebuah resistensi dalam hal adab dan etika pergaulan. Pada akhirnya orang-orang kaya enggan untuk menyatukan diri dengan orang-orang miskin, begitupun sebaliknya orang-orang miskin merasa segan untuk melibatkan diri ke dalam pergaulannya dengan orang-orang kaya. Ibarat minyak dalam air, bersama tapi tidak bersatu. Itulah kenyataan sosial yang sepertinya sudah membudaya dan mewarnai kehidupan manusia. Sudah barang tentu kondisi tersebut sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam, di mana seharusnya manusia bersatu dalam kebersamaan mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :

”dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara;” (Ali’Imran, QS 3 : 103)
  
   Keberadaan manusia baik kaya ataupun miskin, ningrat atau orang kebanyakan, sehat atau cacat dan apapun keadaannya di hadapan Allah SWT adalah sama statusnya. Derajat manusia yang terangkat ke hadapan Allah SWT sesungguhnya hanyalah manusia yang beriman dan bertakwa serta senantiasa bersyukur. Sedangkan derajat manusia atau status sosial dalam hubungannya dengan kehidupan di dunia adalah semata merupakan ujian dari Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an :

”dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu) berkata: ’Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman): ’Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?’ ” (Al-An’am, QS 6 : 53).

”dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’am, QS 6 : 165).

   Dengan demikian apapun keberadaan seseorang adalah merupakan ketetapan-Nya yang wajib disyukuri. Kaya dan miskin adalah amanah yang dicobakan atau diujikan kepada manusia, dalam hal ini manusia dituntut untuk mampu membawa dan menjalankannya. Peraturan-Nya, bagi orang-orang kaya harus perduli serta membuka hati seluas-luasnya terhadap orang-orang miskin dengan cara ikhlas membagi kekayaannya, sebagaimana firman Allah SWT :

”Maka (sebagai sikap rasa bersyukur) berikanlah kepada kerabatmu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; pemberian yang demikian adalah baik bagi orang-orang yang bertujuan memperoleh keridhaan Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ar-Ruum, QS 30 : 38).

Sementara bagi orang-orang miskin harus bisa menerima dengan ikhlas, sabar dan tawakal terhadap penderitaannya. Seseorang menjadi miskin juga bisa terjadi karena dosa atas pelanggaran Peraturan-Nya, sehingga Allah menarik seluruh harta kekayaannya. Bagi orang beriman hal ini tidaklah berarti sesuatu yang buruk, karena semuanya itu merupakan cobaan atas kasih sayang Allah SWT kepada umat-Nya. Sebagaimana Rasulullah bersabda :

”Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik, maka ia diberinya cobaan.” (HR. Bukhari).

”Seorang muslim yang tertimpa penderitaan, kegundahan, kesedihan, kesakitan, gangguan dan kerisauan sehingga terkena duri, semuanya itu merupakan kafarat (penebus) dari dosa-dosanya.” (HR. Bukhari-Muslim).

 Sebuah kepastian, Allah SWT tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Seberat apapun cobaan yang dianugerahkan kepada umat-Nya, tentu Allah SWT tidak akan pernah membiarkannya terhanyut dalam kesulitan yang nyata. Kuncinya adalah beriman dan bertakwa, sebagaimana firman-Nya :

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Al-Baqarah, QS 2 : 286).

”....Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq, QS 65 : 2-3).   

   Di negeri ini cukup banyak jumlah orang-orang yang dikategorikan miskin. Terlepas dari akurasinya, tahun 2008 pemerintah mencatat jumlahnya hampir 15 % dari jumlah penduduk secara keseluruhan atau sekitar 32,38 juta orang. Sebuah kemungkinan, mengacu kepada banyaknya bencana alam antara tahun 2009 hingga tahun 2010, maka saat ini jumlah orang miskin bisa bergeser menjadi 15 % atau lebih. Katakanlah 15 %, maka perbandingannya antara yang mapan dengan yang miskin angkanya cukup spektakuler yakni 85:15. Jika saja manusia dalam mengarungi kehidupannya berpedoman kepada Peraturan Allah SWT, maka tidak mustahil masalah kemiskinan di negeri ini bisa tertanggulangi. Itu memang sebuah teori, akan tetapi Peraturan Allah adalah sebenar-benarnya peraturan yang apabila dijalankan akan nyata kebaikannya. Mungkinkah kita bisa melakukan hal yang demikian? Tidak dapat dipastikan, karena terhadap sejumlah bantuan yang adapun dari pemerintah, kenyataannya tidak sampai seutuhnya ke tangan orang-orang yang berhak menerimanya. Itulah pemandangan kehidupan yang ada saat ini. Sebuah indikasi penyimpangan moral manusia di mana hati dan perasaan sepertinya sudah tertutup, sehingga sudah sebegitu jauhnya penganiayaan terhadap orang-orang miskin.

   Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika kita mengharapkan perubahan pandangan orang kaya dan orang miskin, di mana yang bengkok akan menjadi lurus dan yang terjal akan menjadi mulus. Terlepas dari mampu atau tidak melakukannya, mari kita berteori, ”Jika ada keinginan untuk berbuat suatu kebajikan, maka lakukanlah sekarang. Jika ada keinginan untuk  berbuat sesuatu yang keji, maka tunggulah sampai besok.” Akhirnya semoga kesadaran akan datang memenuhi relung hati kita, sebab janji Allah pasti datang dan benar.******

Sesungguhnya Tidak Ada Krisis Ekonomi



Oleh : Zamid al Zihar

   Sudah menjadi sifat manusia kalau selalu tidak merasa puas terhadap sesuatu yang didapatkannya. Mengejar apa yang diinginkan seolah menjadi suatu kewajiban yang harus terealisir. Barangkali hal ini positif bila yang dimaksud menginginkan sebuah ilmu, akan tetapi lain halnya apabila yang dikejar sejumlah harta kekayaan. Berkeinginan lebih dari yang lain dan ingin dipandang terhormat adalah suatu keniscayaan yang senantiasa melekat dalam jiwa manusia. Itulah sebabnya, mengapa seringkali terjadi gejolak social, penyelewangan serta penyimpangan-penyimpangan terhadap segala hal. Kadang manusia tidak menyadari bahwa Yang Maha Kuasa memberikan sesuatu dengan ukuran yang telah ditentukan dengan perhitungan yang begitu sempurna.

   Allah SWT menciptakan segala sesuatunya penuh keseimbangan. Alam semesta yang mencakup langit dan bumi serta segala apa yang menghiasi di dalamnya menempati posisi yang tepat sesuai ukurannya. Begitu juga rezeki yang di anugrahkan tentunya diatur dengan porsi-porsi tertentu. Seandainya saja manusia tidak mengingkarinya, maka kesempurnaan kehidupan akan bisa dirasakan. Dalam surah Az Zuhruf (QS 43:32) Allah berfirman :

“Apakah mereka yang membagi-bagi Rahmat Tuhan-mu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan (bantuan dari) sebagian yang lain. Dan Rahmat Tuhan-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az Zuhruf, QS 43:32)

   Dunia kemanusiaan saat ini berada pada tatanan kehidupan modern dengan teknologi yang serba canggih. Hampir semua pekerjaan dilakukan oleh mesin hasil perkembangan teknologi. Berbagai ilmu pengetahuan dengan segala rumusannya yang mengarah kepada perhitungan duniawi nyaris tidak diragukan lagi ketepatannya. Penelitian dan analisa terhadap upaya pengembangan ilmu terus dilakukan manusia, bahkan mungkin tidak akan pernah berakhir. Alhasil manusia meraih kemudahan-kemudahan dalam melakukan segala sesuatunya demi kepentingan duniawi. Namun semakin maju peradaban manusia, semakin banyak yang menyimpang dari ketentuan. Semakin tinggi ilmu pengetahuan, semakin memacu waktu untuk menjadi yang terbaik tanpa dibarengi oleh pemahaman spiritual. Sehingga penyelewengan akidah terjadi dimana-mana dan konsekwensinya porsi kepentingan umum bergeser menjadi kepentingan pribadi. Bisa dibenarkan apa yang dikatakan oleh filosof Spanyol Jose Ortega Y.Gosset bahwa dunia modern adalah dunia biadab.

   Ada sebuah kata mutiara : God doesn’t ask for you to be the best, only to do your best. Sesungguhnya Tuhan tidak meminta seseorang untuk menjadi yang terbaik, akan tetapi untuk melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Pepatah yang baik, tentunya untuk memotifasi perilaku kehidupan seseorang agar menjadi yang terbaik. Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya dapat dimaknai sebagai sesuatu yang akan menghasilkan  keseimbangan di dalam mempresentasikan hak dan kewajiban. Dalam kenyataannya, perilaku manusia selalu menonjolkan yang hak ketimbang yang wajib, hingga hukum yang berlakupun lebih kepada mementingkan hak dan tidak menghiraukan kewajiban. Kehidupan manusia lebih didominasi oleh nafsu, sehingga akhirnya merusak tatanan kehidupan yang hakiki yakni kehidupan sesuai porsi yang diberikan Allah SWT. Dampak yang ditimbulkan dari keadaan seperti tiu adalah adanya kesulitan-kesulitan dalam segala bidang, ketakutan, kelaparan dan penderitaan pada sebagian masyarakat yang seolah tiada berakhir. Itulah barangkali yang dikatakan krisis ekonomi. Allah SWT berfirman :

”Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari Nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah rasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan lantaran apa-apa yang mereka kerjakan itu.” (An-Nahl, QS 16:112).

   Adanya akibat tentunya dari adanya sebab. Krisis ekonomi hanyalah sebuah akibat dari perilaku kehidupan manusia yang selalu memanjakan nafsu dan semakin menjauhkan dari mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah SWT. Sebutan krisis ekonomi tidak lebih dari upaya mengkambing hitamkan atas kegagalan dalam mempresentasikan ilmu yang dimiliki. Pemanfaatan ilmu yang tidak disinergikan dengan nilai-nilai ketuhanan bukan saja akan berpengaruh buruk kepada kehidupan sosial, akan tetapi berpengaruh juga kepada nilai amal perbuatan yang harus diperpertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :

”Barang siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan yang seharusnya ditujukan hanya untuk mencari ridha Allah ’Azza Wa Jalla, kemudian ia tidak mempelajarinya untuk mencari ridha Allah bahkan hanya untuk mendapatkan kedudukan / kekayaan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya sorga nanti pada hari Qiamat.” (Riwayat Abu Daud).

   Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa dunia modern penuh kesesatan. Moral manusia dipertaruhkan hanya untuk mendapatkan predikat yang terbaik dari segi status sosial. Nilai-nilai agama yang terkandung dalam Al-Qur’an seolah tidak lagi menjadi pedoman dalam setiap melakukan perbuatan, sehingga akalpun dalam pemanfaatannya berubah menjadi akal-akalan. Padahal Allah ’Azza Wa Jalla memerintahkan kepada manusia agar mempelajari Al-Qur’an sampai benar-benar paham supaya dapat memberi peringatan kepada orang-orang yang mempunyai akal, sebagaimana firman-NYA :

”Ini adalah sebuah kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (mempelajari) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai akal.” (Shad, QS 38:29).

   Mengutip analisis filosofisnya Schumacher yang ditulis oleh Drs. H. Syahminan Zaini dalam buku khutbahnya, bahwa atas analisa yang dilakukannya terhadap sebab terjadinya krisis ekonomi di dunia, maka kesimpulannya : ”Dunia kemanusiaan tidak pernah mengalami krisis ekonomi, karena setiap krisis pada hakikatnya merupakan krisis moral.”
Seperti itulah barangkali adanya, dan mari kita lebih menyadari serta instrospeksi diri atas segala apa yang telah kita lakukan.  

****************

Minggu, 20 November 2011

Ayat-Ayat Allah Menggetarkan Jiwa


Oleh : Zamid al Zihar

   Bila membaca judul tulisan di atas bisa dipastikan orang-orang Islam akan sangat setuju dan tidak akan ada yang membantah bahwa ayat-ayat suci Al-Qur’an menggetarkan jiwa, meskipun barangkali apa yang dirasakannya selama ini sepertinya tidak ada pengaruhnya dan keyakinannya hanya semata disandarkan kepada kesucian Al-Qur’an sebagai wahyu Allah SWT. Semakin kuat lagi keyakinan akan adanya pengaruh ayat Allah tersebut ketika hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

“Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang sempurna) adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah bertambah iman mereka, dan kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal.” (Al-Anfal, QS 8 : 2).

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada satu pemberi petunjuk untuknya.” (Az-Zumar, QS 39 : 23).

   Pertanyaannya sekarang, benarkah ayat suci Al-Qur’an bisa mempengaruhi psikologis manusia yang mendengarkannya atau membacanya? Di manakah letak pengaruhnya terhadap jiwa manusia? Tidak sedikit orang awam mengatakan bahwa ketika membaca ataupun mendengarkan ayat suci Al-Qur’an sepertinya tidak berpengaruh apa-apa. Mungkin saja demikian, karena ketika kita menyimak isi ayat-ayat tersebut di atas, maka sepihak kita bisa menarik kesimpulan bahwa terhadap orang-orang yang berkriteria mukminlah ayat-ayat Allah tersebut akan berpengaruh, sehingga bagi orang-orang yang kwalitas keimananya rendah atau bagi orang-orang yang tidak mempercayai Al-Qur’an akan sama-sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Namun benarkah dengan kesimpulan tersebut? Lalu bagaimanakah dengan peristiwa yang terjadi dengan saidina Umar bin Khaththab dan Utbah bin Rabi’ah?

   Dalam sebuah riwayat diceritakan tentang Umar bin Khaththab ketika keluar rumahnya bermaksud membunuh Nabi Muhammad SAW yang dianggapnya telah memecah belah masyarakat serta merendahkan sesembahan leluhurnya. Di dalam perjalanan dia bertemu dengan seseorang yang menanyakan tujuannya. Lalu orang itu berkata : “Tidak usah Muhammad yang kau bunuh, adikmu yang telah mengikutinya (masuk Islam) adalah yang lebih wajar engkau urus.” Kemudian Umar menemui Fatimah adiknya, yang sedang bersama suaminya membaca lembaran ayat-ayat Al-Qur’an. Ditamparnya sang adik sehingga bercucuran darah dari wajahnya, lalu dimintanya lembaran itu dan dibacanya :

Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Quran kepadamu (wahai Muhammad) supaya engkau menanggung kesusahan, Hanya untuk menjadi peringatan bagi orang-orang yang takut melanggar perintah Allah. (Al-Quran) diturunkan dari Tuhan yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. Yaitu (Allah) Ar-Rahmaan, yang bersemayam di atas Arasy. Dialah jua yang memiliki segala yang ada di langit dan yang ada di bumi serta yang ada di antara keduanya, dan juga yang ada di bawah tanah basah diperut bumi. (Thaha, QS 20 : 1-6).

   Setelah selesai Umar membaca ayat tersebut gemetarlah jiwanya, lalu dia bergegas menemui Nabi, namun kali ini bukanlah untuk membunuhnya. Begitu bertemu, maka Rasulullah SAW menarik dengan keras ikat pinggang Umar sambil bersabda : “Apa maksud kedatanganmu wahai putra Al-Khaththab? Saya duga kamu tidak akan berhenti sampai Allah menurunkan siksa-Nya kepadamu.” Umar menjawab : “Wahai Rasul Allah, aku datang untuk percaya kepada Allah dan Rasul-Nya serta apa yang disampaikannya dari Allah.”

   Peristiwa yang hampir sama diceritakan dalam riwayat lainnya, kali ini terjadi dengan Utbah bin Rabi’ah ketika diutus oleh kaum musyrik Makkah menghadap Rasulullah SAW. Setibanya di hadapan Nabi SAW, Nabipun membacakan beberapa ayat dari Surah Hamim As-Sajadah. Kemudian Utbah kembali ke kaumnya, dan dari kejauhan yang melihat Utbah berkata : “Abu Al-Walid (Utbah) datang dengan wajah yang berbeda dengan wajahnya ketika berangkat.”

   Inti dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah begitu hebatnya pengaruh ayat-ayat suci Al-Qur’an, sehingga ketika dibaca oleh saidina Umar bin Khaththab, maka jiwanya gemetar dan langsung luluh dihadapan Rasulullah. Begitu juga Utbah bin Rabi’ah ketika mendengar Nabi SAW membacakan beberapa ayat saja, maka wajahnya langsung berubah seperti ketakutan. Persoalannya, apakah saidina Umar yang sebelumnya begitu menentang keras ajaran Nabi SAW bisa dikategorikan sebagai orang mukmin, sehingga jiwanya bergetar ketika membaca ayat Allah? Apakah juga Utbah bisa dikategorikan sebagai orang yang beriman, padahal sekalipun tunduk ketika mendengarkan ayat yang dibacakan Nabi SAW tetap saja ia mengikuti kaum musrikin? Atau juga mungkinkah bahwa apa yang terjadi dengan saidina Umar adalah karena atas penyesalannya telah menampar adiknya hingga berdarah, begitu juga dengan Utbah karena terkesima memandang karismatik Nabi Muhammad SAW?

   Setelah saya membaca buku Mukjizat Al-Qur’an karya M.Quraish Shihab, maka semua polemik yang terjadi dalam pemikiran kita luntur sudah. Keyakinan akan kebenaran ayat Allah tidaklah lagi hanya sekedar mendasarkan kepada kesucian Al-Qur’an sebagai wahyu Allah semata, akan tetapi lebih kepada pembuktian yang nyata. Dijelaskan dalam buku Mukjizat Al-Qur’an bahwa Muhammad Kamil Abdussamad dalam bukunya Al-I’jaz Al’Ilmi fi Al-Qur’an menulis antara lain :

  • Alat-alat observasi elektronik yang dikomputerisasi telah digunakan untuk mengukur perubahan-perubahan fisiologis pada sejumlah sukarelawan sehat yang sedang mendengarkan dengan tekun ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka terdiri dari sejumlah kaum muslim yang dapat berbahasa arab dan yang tidak pandai baik muslim maupun bukan muslim. Dibacakan kepada mereka penggalan ayat-ayat Al-Qur’an (dalam bahasa Arab) kemudian terjemahannya ke dalam bahasa Inggris. Percobaan ini membuktikan adanya pengaruh yang menenangkan hingga mencapai 97 persen. Pengaruh tersebut bahkan terlihat dalam bentuk perubahan-perubahan fisiologis yang tampak melalui berkurangnya tingkat ketegangan syaraf. Rincian dari hasil-hasil eksperimen ini telah dilaporkan pada konferensi tahunan XVII Organisasi Kedokteran Islam Amerika Utara yang diselenggarakan di Santa Lusia pada Agustus 1984.

  • Telah dilakukan pula studi perbandingan untuk mengetahui apakah pengaruh serta dampak-dampak fisiologis tersebut benar-benar disebabkan oleh Al-Qur’an bukan oleh faktor-faktor luar seperti suara, nada dan langgam bacaan Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu, atau karena pendengaran mengetahui bahwa yang dibacakan kepadanya adalah bagian dari kitab suci. Untuk maksud studi ini digunakan alat ukur stres yang dilengkapi dengan komputer dari jenis MEDAL 3002, yaitu alat yang diciptakan dan dikembangkan oleh Pusat Kedokteran Universitas Boston di Amerika Serikat. Alat tersebut mengukur reaksi-reaksi yang menunjuk kepada ketegangan dengan dua cara. Pertama, pemeriksaan psikologis secara langsung melalui komputer. Kedua, pengamatan dan pengukuran perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh.

  • Percobaan dilakukan sebanyak dua ratus sepuluh kali terhadap lima orang sukarelawan, tiga pria dan dua wanita yang umur mereka berkisar antara 17-40 tahun dengan rata-rata usia 22 tahun. Kesemua sukarelawan itu tidak beragama Islam dan tidak berbahasa Arab. Kedua ratus sepuluh percobaan itu dibagi dalam tiga jenis, 85 kali diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an ysng dibacakan secara mujawwad (tanpa lagu), 85 kali bacaan berbahasa Arab bukan dari ayat Al-Qur’an, dengan suara dan nada yang sama dengan bacaan mujawwad itu, sedangkan 40 kali (sisa dari 210 itu) tidak dibacakan apa-apa, tetapi diminta dari yang bersangkutan untuk duduk dengan tenang sambil menutup mata yang juga merupakan posisi mereka dalam 2 x 85 percobaan kedua jenis yang disebut sebelum ini.

  • Tujuan percobaan tersebut adalah untuk mengetahui apakah redaksi ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai dampak terhadap yang mengerti artinya, dan apakah pengaruh itu (bila ada) benar-benar merupakan pengaruh redaksi ayat Al-Qur’an, bukan pengaruh nada dan langgam bahasa Arab yang asing di telinga pendengarnya. Sedangkan tujuan percobaan tanpa bacaan adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh posisi dalam memberikan ketenangan. Dari hasil pengamatan awal, terbukti bahwa tidak ada pengaruh posisi duduk tanpa bacaan dalam mengurangi ketegangan, karena itu percobaan ini pada tahap akhir hanya dilakukan pada dua jenis percobaan pertama. Pada akhirnya hasil yang diperoleh adalah 65 persen dari percobaan yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai pengaruh positif dalam memberi ketenangan, sedangkan yang bukan ayat Al-Qur’an hanya 35 persen.
   Dengan demikian jelas tidak ada keraguan lagi tentang kebenarannya bahwa ayat-ayat Allah sesuai yang disebutkan dalam Al-Qur’an dapat menggetarkan jiwa seseorang baik terhadap yang membaca maupun yang mendengarkannya. Sebagaimana dalam proses eksperimen di atas para sukarelawan diminta untuk duduk dengan tenang sambil menutup mata, maka itulah barangkali sebaik-baiknya cara menyikapi bacaan ayat suci Al-Qur’an, sebagai ditegaskan juga dalam Al-Qur’an :

dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Al-A’raf, QS 7 : 204)***

Senin, 31 Oktober 2011

MEMAKAN DAGING SAUDARA SENDIRI


 

Oleh : Zamid al Zihar


   Sebagai makhluk sosial, manusia suka berkelompok atau berkumpul baik dalam suatu kegiatan yang dilandasi tujuan-tujuan tertentu untuk kepentingan bersama maupun hanya sekedar ngobrol-ngobrol biasa atau apa yang biasa disebut dengan ngerumpi. Ngerumpi bisa terjadi di mana saja, kapan saja, entah siang atau malam hari, baik dilakukan oleh para laki-laki, para perempuan maupun kedua-keduanya. Adanya ngerumpi disamping karena sengaja hanya untuk sekedar melepas jenuh sambil ngopi ataupun nyantap makanan kecil, juga bisa karena diawali adanya pertemuan khusus baik urusan pekerjaan ataupun kemasyarakatan. Ngerumpi sama saja dengan ngobrol-ngobrol biasa, saling curhat antar pribadi, ngobrol masalah politik, masalah lingkungan dan masalah umum lainnya yang biasanya diwarnai dengan canda dan tawa. Namun demikian ngerumpi bisa menjadi ngobrol-ngobrol yang luar biasa, jika saja isi obrolannya mengarah kepada suatu keburukan.

   Dalam bermasyarakat tentunya berkumpul atau yang dikatakan ngerumpi itu adalah sesuatu hal yang sangat baik dan banyak sekali manfaatnya disamping sebagai wadah aspirasi social, juga merupakan sarana penyambung tali silaturahmi serta pengikat erat tali persaudaraan. Namun di sisi lain berkumpul juga sarat akan keburukan dan riskan terhadap campur tangan setan. Jiwa manusia terkadang bagaikan sebuah pohon yang terombang-ambing angin, angin ke barat akan condong ke barat dan angin ke timur akan condong ke timur, bilamana satu atau sebagian membicarakan ikhwal kebaikan maka semua akan bicara kebaikan, tetapi begitu setan dengan licik menghembuskan fitnahnya maka suasananya akan berubah menjadi keburukan. Di situlah adanya yang dimaksud dengan obrolan-obrolan luar biasa yakni menggunjing keburukan orang lain atau apa yang dinamakan oleh islam dengan ghibah.

   Menurut Syaikh Imam Al-Ghazali dalam buku Penyakit Hati karya Ibrahim M.Al-Jamal, dikatakan bahwa pengertian dan batasan ghibah adalah membicarakan sesuatu yang terdapat pada orang lain, yang jika sampai kepadanya dia tidak akan menyukainya. Pembicaraan dalam hal ini tentunya mengenai keburukan dan kekurangan orang lain seperti yang berhubungan dengan akhlaknya, perbuatannya, masalah agamanya, masalah keadaannya, masalah rumah tangganya, urusan keduniaannya, berburuk sangka dan lain sebagainya. Dampak dari perbuatan menggunjing (ghibah), bagi dirinya sendiri akan memunculkan kesombongan, riya, merasa dirinya yang terbaik dan bahkan bisa timbul perbuatan mengadu domba (namimah). Sementara bagi pihak yang digunjingnya jika saja orang itu tahu, maka kemungkinannya akan menimbulkan keretakan dalam kerukunan bermasyarakat, dan lebih jauh lagi tidak jarang yang berakibat kepada keretakan dalam rumah tangganya. Begitu jahat dan buruknya orang-orang yang menggunjing, sehingga Allah SWT menyamakannya dengan orang-orang yang suka makan daging saudaranya sendiri, sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujarat, QS 49 : 12)

   Kegiatan ber-ghibah ria terjadi karena adanya pertemuan dua orang atau lebih. Dalam kehidupan masyarakat, disadari atau tidak kenyataannya sering kali hal ini terjadi dan dilakukan oleh sekumpulan para perempuan terkhusus ibu-ibu rumah tangga, bisa saja kemungkinannya selain karena sudah merupakan karakter perempuan, juga didukung besarnya peluang atau kesempatan waktu mereka untuk saling bersosialisasi. Misalnya pertemuan tanpa terencana yang biasanya terjadi setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, pertemuan ketika menunggu waktu anak-anaknya sekolah (TK/SD), pertemuan dalam kegiatan arisan, dan yang lebih memprihatinkan tidak jarang juga terjadi dalam kelompok kegiatan keagamaan semisal pengajian. Padahal sesungguhnya kita semua saudara, terlebih terhadap sesama muslim, selayaknyalah saling menjaga hubungan persaudaraan serta satu sama lainnya tidaklah saling mencela. Sebagaimana dikatakan Abdullah bin Umar ra. bahwasannya Rasulullah SAW bersabda :

“Orang Islam itu adalah saudara orang Islam, ia tidak menganiayanya dan tidak pula membiarkannya. Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah memenuhi kebutuhannya. Barang siapa yang melepaskan kesulitan orang Islam niscaya Allah akan melepaskan kesulitan-kesulitannya nanti di hari Qiyamat, dan barang siapa yang menutupi cela orang Islam niscaya Allah akan menutupinya nanti di hari Qiyamat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

   Lidah itu meskipun bukanlah sebilah pisau, akan tetapi bisa menyayat hingga begitu menyakitkan. Lidah itu tajam bisa melukai orang lain. Oleh karena itu jika kita tidak ingin merasakannya, maka jagalah perkataan kita agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Hendaklah juga kita berhati-hati terhadap orang-orang yang selalu menggunjingkan tentang keburukan orang lain kepada kita, sebab kemungkinannya juga suatu saat ia akan menggunjingkan kita kepada orang lain. Menggunjing dan berprasangka buruk kepada orang lain sama saja dengan menebar fitnah, artinya juga sama dengan perbuatan setan yang apabila kita terlibat di dalamnya maka akan menuai dosa, sebagaimana Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…”  (Al-Hujarat, QS 49 : 12)

Bahkan Syaikh Imam Al-Ghazali mengatakan : “ Ketahuilah bahwa berburuk sangka itu hukumnya haram, seperti hukumnya mengatakan perkataan yang buruk. Maka, sebagaimana diharamkan atas kamu untuk membicarakan orang lain tentang keburukan-keburukannya, diharamkan pula untuk mendetikkan di dalam hati dan berburuk sangka terhadap orang lain. Yang saya maksudkan bukan hanya keyakinan hati, tetapi juga mengklaimnya dengan keburukan.”

   Saudaraku, jadikanlah sesama itu sebagai saudara, salinglah menghargai privasinya serta tidak lantas saling umbar kebaikan atau kehebatan diri sendiri sementara tidak habis-habisnya merendahkan dan mencela orang lain. Bila saja tidak bisa berkata baik mengenai seseorang, maka janganlah juga berkata buruk tentang orang itu, karena sesungguhnya belum tentu orang tersebut lebih buruk dari kita, bahkan tidak menutup kemungkinan kenyataannya bisa sebaliknya bahwa kitalah yang justru lebih buruk dari pada mereka. Sesungguhnya pula antara sesama mukmin bagaikan satu tubuh, di mana mencela sesama mukmin berarti juga mencela diri sendiri. Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri...” (Al-Hujarat, QS 49 : 11)

   Jika saja kita mau banyak bertanya kepada diri sendiri tentang hati dan perasaan, juga tentang kekurangan dan kelemahan diri sendiri, maka mungkin kita akan terhanyut ke dalam hati dan perasaan orang lain, juga kita akan bisa lebih memahami kekurangan dan kelemahan orang lain. Sekalipun kita melihat kenyataannya orang lain itu buruk, maka janganlah lantas di buruk-burukan apalagi sampai digunjingkan, akan tetapi jadikanlah sebuah pembelajaran agar kita terhindar dari hal seperti itu. Terlebih kalau kita hanya mendengar dari seseorang, yang mana kita sendiri tidak ada pengetahuan tentang apa yang disampaikan oleh orang itu, maka jauhkanlah dari berprasangka agar kita terhindar dari perbuatan yang merugikan. Sebagaimana Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, jika dating kepadamu orang pasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujarat, QS 49 : 6)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya.” (Al-Isra, QS 17 : 36).

   Saudaraku, tidak akan pernah putus keburukan itu selama kita tidak pernah berupaya mengendalikannya, dan tidak akan pernah lekang kebaikan itu selama kita ada kemauan menjaganya. Membenci adalah sifatnya kemanusiaan, menyayangi adalah sifatnya ketuhanan. Manusia acap kali menebar kebencian, namun mereka yang suka menyayangi sesamanya adalah sangat terpuji di hadapan Tuhan Allah SWT. Jika sekarang dan kemarin dipenuhi keburukan, maka jadikanlah besok dan ke depannya sarat dengan kebaikan. Semoga kita tidak termasuk dalam golongan orang yang suka memakan daging saudara sendiri. Amin.  

Selasa, 25 Oktober 2011

DAHSYATNYA PERINGATAN ALLAH

Oleh : Zamid al Zihar.

  
   Seperti yang kita ketahui bahwa manusia di alam dunia ini hanyalah sebagai khalifah atau sebagai pengembara yang berjalan menuju akhir tempat yang sesungguhnya yakni alam akhirat. Selama melakukan perjalanan tersebut tentunya manusia harus melewati berbagai peraturan dan ketentuan yang telah di tetapkan Allah SWT. Jika dilanggar, maka Allah akan memberikan peringatan. Pelanggaran terkecil hingga terbesar tentu kadar peringatannya satu sama lain akan berbeda. Jika terhadap peringatan-peringatan tersebut manusia masih tetap saja pada kondisi tidak jera atau tidak ada upaya memperbaikinya, maka eksekusi yang sesungguhnya adalah kelak di hari kiamat, di mana menjelang masuk pintu alam akhirat segala amal perbuatan kita akan diperhitungkan. Bagi yang selama perjalanan di dunianya mentaati peraturan-Nya ataupun yang setelah diberikan peringatan lalu bertobat dan kembali berjalan sesuai peraturan-Nya maka tempatnya adalah surga. Sedangkan bagi yang sebaliknya dari itu maka tidak akan berlaku lagi peringatan, di mana tempatnya adalah penjara akhirat (neraka) dan dihukum dengan hukuman yang tiada bandingannya. Itulah seberat-beratnya hukuman yang pasti akan dirasakan di akhir perjalanan mengarungi kehidupan dunia.

   Peringatan Allah bisa mengambil berbagai bentuk seperti bencana alam, kelaparan, wabah penyakit dan lain sebagainya. Baik peraturan, peringatan (hukuman) di dunia maupun hukuman di akhirat semuanya telah tertulis dalam kitab pedoman hidup manusia yakni Al-Qur’an. Allah Ta’ala tidak akan pernah menimpakan peringatan atau hukuman jika saja ketentuan-Nya tidak dilanggar. Jadi peringatan yang dirasakan manusia di atas bumi ini adalah semata karena kesalahan manusia itu sendiri. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri…” (An-Nisa, QS 4 : 79).

   Jika Allah memberikan peringatan kepada umat-Nya, maka tidak akan pernah ada yang mampu menolaknya apalagi melawannya. Datangnya secara tiba-tiba tanpa ada yang bisa memprediksi kapan akan terjadinya. Begitu keras dan dahsyat, sehingga siapapun yang melihat dan merasakannya sudah pasti akan ketakutan dan kesakitan, bahkan seketika itu juga manusia akan tertunduk tanpa daya, ada yang berputus asa dan ada juga yang meratap-ratap memohon ampunan-Nya. Peringatan atau teguran bukan hanya menimpa kepada diri orang sendiri, tapi secara massal kepada kaum manusia dalam suatu negeri yang tentunya disebabkan atas pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan-Nya. Bagaimanakah Allah mengadakan peringatan atau teguran kepada umat-Nya? Mari kita tengok ke belakang beberapa peringatan Allah dari waktu ke waktu berupa kejadian-kejadian bencana alam terbesar yang paling mengerikan dan memilukan yang pernah mengguncang dunia sepanjang periode tahun 1970 hingga sekarang.

Gempa Bumi Dan Tanah Longsor Di Peru, Tahun 1970

   Tanggal 31 Mei 1970. Gempa bumi terjadi pada pukul 15.23 yang terukur mencapai kekuatan 7,75 pada Skala Richter. Sumber gempa berasal dari retakan di dasar laut dekat pelabuhan Chimbote yang berjarak sekitar 30 mil (50 km) dari pantai. Kerusakan yang menakutkan seiring bencana tersebut terjadi di kota-kota pesisir terutama di Chimbote. Gelombang guncangan gempa menyebar dalam lingkaran konsentris sebelah utara Peru. Begitu hebatnya hingga mengakibatkan kota hancur lebur terkoyak, manusia terkubur serta 95 persen gedung-gedung runtuh. Dahsyatnya lagi, Huaras yang merupakan tempat peristirahatan populer lenyap dari bumi seakan tak berbekas. Belum lagi selesai, gempa ini memicu bergeraknya tanah wilayah Gunung Huascaran, sehingga terjadi longsor yang sangat besar dan mengerikan. 3,5 milyar kubik lumpur, batu dan air serta gletser setebal seratus kaki (30 m) menghujani kota Yungay. Besarnya beban yang luar biasa itu menjebolkan bendungan di sepanjang Peru Utara. Sebuah sumber melukiskan efek tanah longsor ini sebagai penyempurnaan kerusakan yang sebelumnya terlewatkan dari dari gempa bumi. Diperkirakan korban tewas 66.794 orang ditambah kerugian materil senilai $250 juta.

Badai Tropis di Bangladesh, Tahun 1970.

  Tanggal 13 Nopember 1970. Angin puyuh yang disertai tsunami raksasa setinggi 15 meter menghantam dengan ganas pulau-pulau kecil lepas pantai di Teluk Benggala, meninggalkan pulau-pulau kecil ini seakan tidak pernah di tempati manusia sebelumnya. Pemandangan yang mengerikan, dimana mayat-mayat berserakan di daratan, juga bergelantungan di pohon-pohon seakan buah-buah pohon yang berubah bentuk menjadi sosok mayat manusia. Belum lagi banyaknya mayat-mayat yang mengapung di Sungai Gangga dan Delta disertai jutaan bangkai sapi dan binatang-binatang lainnya, sehingga merubah warna air sungai itu menjadi merah. Keadaannya begitu mencekam, dunia pada saat itu seakan tak berfungsi lagi sebagai tempat kehidupan dan penghidupan. Jumlah korban berdasarkan laporan dari berbagai sumber diperkirakan sebanyak satu juta orang.

Topan Fifi di Honduras, Amerika Tengah, Tahun 1974.

   Tanggal 18-20 September 1974. Topan Fifi berkecepatan 110 mil (175 km) per jam bergerak melewati barat laut Honduras, meluluh lantakan kota Chomola dan San Pedro Sula. 60 persen industri pertanian mengalami kerusakan luar biasa, 60.000 orang kehilangan tempat tinggal. Badai topan juga menumpahkan Sungai Ulua dan Sungai Aguan, sehingga airnya meluap hebat, gelombangnya mengerikan, menyapu perumahan, bangunan dan apa saja yang disinggahinya. Banjir kematian dan kerusakan sama-sama tinggi jumlahnya. Selepas badai berlalu, meninggalkan pemandangan yang memilukan, kehancuran sejauh berkilo-kilometer, rumah-rumah yang hancur dan menyatu dengan tanah, lapangan-lapangan yang tergenang bagaikan danau-danau luas yang terhampar dan ribuan mayat ditimbun setinggi mungkin, lalu dibakar. Badai topan telah menyisakan kepedihan yang luar biasa. Korban tewas diperkirakan 10.000 orang.

Gempa Bumi Di Tangshan, Cina, Tahun 1976

   Tanggal 28 Juli 1976. Gempa bumi berkekuatan 8,3 Skala Richter (SR) mengguncang permukaan bumi Tangshan sekitar pukul 3.45 waktu setempat, ditambah lagi gempa susulan berkekuatan 7,1 SR terjadi pada sore harinya. Meluluhlantakan lebih kurang 600 rumah penduduk dan ratusan bangunan lainnya termasuk pusat pembangkit listrik hidroelektrik, rumah sakit-rumah sakit dan jembatan-jembatan strategis. Di mana-mana yang terlihat mayat-mayat bergelimpangan di antara puing-puing yang berserakan. Ratusan penduduk yang terlelap tidur tewas seketika dan ratusan ribu lainnya luka-luka disusul ribuan kematian lainnya karena wabah penyakit yang diakibatkannya. Setiap jalan yang terentang lebih dari 640 km (400 mil) hancur terkoyak, sehingga menyulitkan siapapun tim penyelamat untuk bisa masuk ke wilayah itu. Layanan Seismologis Cina menyatakan kepastian jumlah korban tewas tidak lebih dari 242.419 orang, meskipun pada awalnya memperkirakan sekitar 655.000 orang.

Gempa Bumi Di Armenia, Uni Soviet, Tahun 1988

   Tanggal 7 Desember 1988. Gempa bumi yang terukur pada 6,9 SR terjadi pukul 11.41 memporak porandakan perumahan penduduk, bangunan perkantoran dan gedung-gedung bertingkat lainnya sejauh radius lingkaran 30 mil (48 km). Kejadiannya di tengah aktivitas masyarakat bekerja, sehingga kehancuran gedung-gedung tersebut menimpa langsung dan mengubur hidup-hidup ribuan orang yang ada di dalamnya hingga menjadi mayat. Dibandingkan dengan gempa Tangshan yang tercatat pada angka 8,3 SR mungkin ukuran kekuatannya tidak seberapa, akan tetapi kedahsyatannya telah meluluhlantakan seisi Kota Spitak, Armenia. National Oceanic and Atmosheric (NOAA) memperkirakan kehancuran yang begitu hebat dari akibat bencana tersebut adalah karena faktor temperatur yang sangat dingin serta kondisi tanah dan konstruksi bangunan yang tidak memadai. Korban tewas diperkirakan 55.000 orang dengan kerugian material senilai lebih kurang $14,2 milyar dan lebih memilukan lagi dampak dari bencana tersebut puluhan ribu penduduk yang masih hidup mengalami kemiskinan panjang.

Gempa Bumi Di Iran, Tahun 1990.

   Tanggal 21 Juni 1990. Gempa bumi terburuk yang pernah menghantam Laut Kaspia. Gempa yang berkekuatan hingga 7,7 SR dan menghantamnya pukul 00.30 dini hari ini telah menghancurkan dan memporak porandakan Kota-kota seperti Rudbar, Manjil dan Lushan, dan diperkirakan 700 desa kecil hancur total serta 300 desa lainnya mengalami rusak berat. Belum lagi ribuan mayat manusia bergeletakan berbaur di antara puing-puing reruntuhan bangunan. Lengkap sudah penderitaan makhluk-makhluk hidup yang ada di wilayah bumi itu ketika gempa susulan berkekuatan 6,5 SR menghantam dan menghancurkan segalanya selama empat hari berturut-turut. Suasananya begitu menakutkan, hari-harinya selama getaran gempa itu terasa selalu dibayang-bayangi oleh kematian. Tercatat lebih dari 100 ribu rumah benar-benar runtuh dan menimbun seisinya. Dalam bencana ini 50.000 orang diperkirakan tewas, 60.000 orang luka-luka dan kerusakan-kerusakan ditaksir senilai $7 juta.

Gempa Bumi di Kobe, Jepang, tahun 1995.

   Tanggal 16 Januari 1995. Gempa bumi berkekuatan 7,2 SR dan disebut sebagai bencana paling mahal sepanjang masa, di mana kekuatannya telah menghancurkan dan menewaskan ribuan korban hanya dalam waktu sekitar 20 detik. Kejadiannya pukul 5.46 pagi hari selama 20 detik, akan tetapi pemulihannya dibutuhkan waktu satu dekade. Hampir semua gedung di perkotaan mengalami kerusakan dan kehancuran berat, hampir semua rumah ambruk dan rata dengan tanah, lebih dari 90 persen dari 187 tambatan kapal di pelabuhan mengalami kerusakan., ribuan mayat bergelimpangan menyatu dengan puing-puing reruntuhan bangunan. Hansin Expressway sepanjang beberapa kilometer telah hancur di beberapa tempat. Korban tewas diperkirakan 5.502 orang dengan kerusakan senilai $147 milyar.

Topan Mitch Di Negara-Negara Wilayah Amerika, Tahun 1998.

   Tanggal 26 Oktober-5 Nopember 1998. Topan Mitch yang berkecepatan lebih dari 175 mil (280 km) per jam dan lebih dari 200 hembusan telah menyapu dan menggulung serta menyisir selama sepuluh hari melewati negara-negara di wilayah Amerika Tengah. Negara-negara yang kedatangan tamu mengerikan itu antara lain Honduras, Nikaragua, Guatemala, El Salvador, Kosta Rika, Belize, Meksiko dan Florida Keys. Honduras adalah negara paling parah, di mana Topan Mitch telah membunuh lebih dari 14.000 orang, memporak porandakan 21 kota, meratakan ribuan rumah dengan tanah dan menyapu 75 persen ladang padi. Topan Mitch menghembus ke Negara-negara bagian lainnya, bagai monster angin raksasa yang mengobrak-abrik segala apa yang dilewatinya. Hujan tak terduga yang dibawanya menjadikan tanah dan lumpur longsor; banjir air bercampur lumpur menyeret kota-kota serta seisinya, manusia, hewan, gedung-gedung dan apapun yang berada di dalam jalurnya. Gelimang mayat dalam kubangan lumpur setinggi beberapa meter seolah menggantikan posisi rumah-rumah, jalan-jalan dan gedung-gedung lainnya. Benar-benar sebuah pemandangan yang begitu mengerikan. Korban yang tewas diperkirakan 18.323 orang.

Gempa Bumi Di Izmit, Turki, Tahun 1999

   Tanggal 17 Agustus 1999. Gempa bumi berkekuatan 7,4 SR terjadi sekitar pukul 3.01 dini hari mengguncang Izmit, Turki, sepanjang Ngarai Anatolia Utara (sebuah jurang yang secara geologis sangat serupa dengan Jurang San Andreas di California), mengakibatkan kerusakan dan korban jiwa yang sangat besar. Guncangan gempa terasa hingga jarak lebih dari dua ratus mil (320 km). Seluruh wilayah Turki mengalami listrik padam; kilang minyak yang mensuplai sepertiga minyak bagi Turki harus ditutup selama berminggu-minggu karena habis terbakar. Puluhan ribu orang tewas seketika karena tertindih reruntuhan dan puing-puing rumah yang menimpa mereka. Kira-kira 600.000 orang telah kehilangan tempat tinggal, hingga akhirnya harus tinggal di jalan-jalan. Di Golcuk, Turki, baik gedung-gedung lama maupun gedung-gedung baru ambruk berpuing-puing dan menewaskan mereka yang ada di dalamnya. Namun demikian, sebuah mesjid kota yang sangat besar, yang telah dibangun sejak berabad-abad lalu tetap berdiri kokoh dan hanya mengalami kerusakan kecil. Diyakini pada saat itu bahwa akibat dari bencana tersebut telah menghancurkan 10 persen perekonomian Turki. Korban tewas diperkirakan hingga 40.000 dan kerugian meterial sebesar $40 milyar.

Gempa Bumi Dan Tsunami Aceh, Indonesia, Tahun 2004

   Tanggal 26 Desember 2004. Gempa tektonik berkekuatan 8,9 SR di Samudera India atau tepatnya di ujung barat Pulau Sumatera yang terjadi Minggu pagi pukul 8.00 WIB meluluhlantakan sebagian wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara. Belum hilang kepanikan akibat gempa dahsyat tersebut, gelombang air  pasang tsunami menerjang puing-puing reruntuhan akibat gempa dan menenggelamkan sebagian besar wilayah tersebut. Gelombang raksasa inipun telah menyapu bersih pemukiman nelayan di kawasan pesisir pantai. Seketika daratan seakan berubah lautan berombak ganas. Tak pelak lagi, bangunan-bangunan yang sudah hancur lebur berpuing-puing akibat gempa terseret berkilo-kilo meter jaraknya. Mayat-mayat tak bertuan berserakan di mana-mana. Namun sebuah keajaiban terjadi terhadap Mesjid Rahmatullah di wilayah NAD, sekalipun gelombang dahsyat menghantamnya, tetap berdiri tegar tak bergeming. Negara di Asia Tenggara lainnya yang juga parah terimbas gempa tersebut adalah Sri Lanka. Korban tewas di Aceh dan Sumatera Utara diperkirakan 230.000 orang, sementara di Sri Lanka diperkirakan lebih dari 30.000 orang.

Gempa Bumi di Nias, Indonesia, Tahun 2005.

   Tanggal 28 Maret 2005. Gempa dahsyat berkekuatan 8,7 SR mengguncang Pulau Nias dan simeuleu Sumatera Utara, terjadi pada Senin malam pukul 23.09 WIB. Peristiwa tersebut terjadi di tengah masyarakat sedang lelap-lelapnya tidur. Sebagian besar bangunan, perumahan rata dengan tanah. Fasilitas-fasilitas umum seperti listrik, air bersih, telepon di Gunung Sitoli rusak total. Nyaris tidak ada bangunan yang bisa terselamatkan. Belum lagi wabah penyakit seperti kolera dan disentri menyebar di mana-mana dan menyerang warga yang selamat. Komunikasi terputus, sehingga menyebabkan terhambatnya penanganan serta pengiriman bantuan. Korban tewas dari peristiwa tersebut diperkirakan 1.000 orang.  

   Itulah sebagian bencana-bencana alam yang boleh dikatakan terbesar sejak 1970 hingga sekarang dan bila dipaparkan semuanya begitu banyak bencana-bencana dahsyat lainnya yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Bahkan bukan hanya bencana alam, tetapi banyak juga musibah lainnya yang tidak kalah dahsyatnya seperti Wabah Kelaparan di Ukraina tahun 1921 dan 1932 yang menewaskan 5 juta hingga 7 juta orang, Epidemi AIDS di seluruh dunia sejak tahun 1970 hingga saat ini memakan korban tewas lebih dari 22 juta orang, Bencana Kekeringan dan Wabah Kelaparan di India tahun 1896-1901 merenggut nyawa 8,25 juta orang, dan masih banyak lagi yang lainnya.

   Di Indonesia sendiri selain bencana yang dikategorikan terbesar seperti gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, banyak lagi bencana-bencana alam lainnya yang bisa dikatakan memilukan seperti Gempa Padang 2 Juli 2009, Gempa Yogja 27 Mei 2005, Jebolnya Situ Gintung Ciputat tahun 2009,  terbakarnya Hutan Gunung Guntur Garut  tahun 2009, terbakarnya Padang Savana Gunung Rinjani tahun 2009, Gempa dan Tsunami Mentawai tahun 2009-2010, Gempa Tasikmalaya tahun 2009, Banjir Bandang, Tanah Longsor dan tentunya masih banyak lagi bencana-bencana lainnya. Adapun bencana alam yang paling dahsyat di Indonesia bahkan mengguncang dunia sepanjang abad 19 adalah Meletusnya Gunung Tambora di Sumbawa 5 April 1815 dengan perkiraan korban tewas hingga 150.000 orang dan Meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda 26-27 Agustus 1883 dengan korban tewas diperkiraan 36.417 orang.  

   Ilmuwan Simpson dari Geosains Australia memaparkan bahwa pertumbuhan penduduk adalah penyebab utama hancurnya kawasan Asia-Pasifik akibat bencana alam,  karena begitu populasi bertambah, orang mulai menetap pada daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah ditinggali, seperti lereng curam yang rawan longsor, di pinggir sungai atau pantai yang setiap beberapa tahun akan mengalami banjir. Prediksi manusia dengan ilmiahnya tentang penyebab terjadinya bencana alam tersebut terkadang bisa dibenarkan, namun sesungguhnya semua itu adalah merupakan azab atas kesombongan manusia di muka bumi ini, di mana jauh sebelum orang memprediksikan hal ini sudah dituliskan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :

“tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (Al-Hadid, QS 57 : 22-23)

“dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak memperoleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah.” (Asy-Syura, QS 42 : 30-31).

  Bencana adalah sebuah peringatan Allah kepada manusia, serta juga merupakan azab di muka bumi ini atas keingkaran manusia kepada-Nya. Apabila Allah menimpakan yang demikian, maka tidak ada seorangpun yang mampu melepaskannya, dan tidak ada yang bisa sembunyi ke manapun dan di manapun sekalipun di dalam benteng yang terbuat dari berlapis-lapis beton. Jutaan jiwa yang terenggut akibat dahsyatnya tekanan peringatan-Nya seakan-akan menjadi saksi atas merosotnya akidah manusia secara terus menerus dari masa ke masa. Simak ayat di bawah ini :

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah Maha mensykuri dan Maha Mengetahui.” (An-Nisa, QS 4 : 147).

”Adapun orang kafir, maka akan Ku siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak ada memperoleh penolong.” (Ali ’Imran,QS 3:56).

Andai saja manusia pandai bersyukur dan beriman, maka tidak ada alasan bagi Allah menurunkan peringatan yang begitu keras. Namun apabila sebaliknya, maka bencana akan terus bersaksi sepanjang masa.***