Oleh : Zamid al Zihar
Namun demikian adakalanya orang-orang
kaya tidak adil dalam sikap dan cara pandang terhadap keberadaan orang-orang
miskin. Banyak orang kaya yang memandang rendah dan hina terhadap mereka, dan
tidak sedikit juga yang melecehkan harga dirinya semisal
penganiayaan-penganiayaan baik secara fisik maupun psikis, terlebih lagi kepada
mereka yang melakukan kejahatan. Orang-orang miskin acap kali menjadi kambing
hitam dalam segala hal keburukan. Ada yang mengatakannya sebagai perusak
pemandangan karena banyaknya yang terlunta-lunta ataupun yang meminta-minta di
areal perkotaan terlebih kekumuhan karena rumah-rumah kardus yang mereka bangun
di sembarang lokasi, dan ada juga yang mengatakannya sebagai sampah masyarakat
karena perbuatan buruknya yang acap kali mereka lakukan. Seperti contohnya
terhadap kasus pencurian sepotong rel kereta yang tentunya merugikan dan
membahayakan banyak orang, orang kaya banyak yang kesal dan geram lantas
mencaci maki dengan perkataan “Dasar tidak punya moral dan hatinya sudah tertutup!”
Ada juga yang menyerukan, “Janganlah menyalahkan kemiskinan hingga bisanya
menghalalkan segala cara, tidakkah bisa mencari pekerjaan yang lebih halal!”,
dan banyak lagi perkataan-perkataan lainnya yang sifatnya menghujat. Kejahatan
memang perbuatan yang dibenci oleh Allah, akan tetapi pantaskah orang kaya
mencaci maki seperti itu?
Padahal kalau mau jujur begitu
banyak orang-orang kaya yang melakukan kejahatan, katakan para koruptor yang
justru merugikan negara dan dampaknya sangat berpengaruh kepada tingkat
kesejahteraan masyarakat secara global di negeri ini. Maaf, mungkinkah mereka menjadi
kaya karena hasil korupsi? Bisa-bisa karena ulahnya para koruptor yang menjamur
tanpa mengenal musim, menyebabkan masalah kemiskinan di negeri tercinta ini sulit
tertanggulangi. Itulah barangkali kejahatan yang sebenar-benarnya. Bentuk
ketidak adilan lainnya sering terjadi dalam hukum peradilan, di mana
orang-orang miskin yang melakukan kejahatan senilai tidak lebih dari ratusan
ribu rupiah harus mendekam di sel berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi apa yang
terjadi terhadap penjahat kakap sekelas Gayus dengan nilai kejahatannya puluhan
milyar rupiah? Jika saja menghitung sanksi secara matematis atas nilai
kejahatan seseorang, lalu kita mencoba membandingkan kenyataan sanksi terhadap
seseorang yang melakukan kejahatan dengan nilai tidak seberapa, maka akan sulit
dibayangkan berapa lama seharusnya seorang seperti Gayus diganjar. Begitu
kusamnya peradilan bagi orang-orang miskin, belum lagi perlakuan buruk yang dideritanya.
Begitu indahnya peradilan bagi orang-orang kaya, belum lagi perlakuan manis
yang diterimanya.
Tidak sepenuhnya benar kalau ada
yang mengatakan bahwa kebodohanlah yang mengakibatkan kebanyakan orang menjadi miskin,
padahal bisa sebaliknya karena factor kemiskinanlah yang membuat mereka bodoh. Mari
sejenak berdialog dengan hati terdalam. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa
begitu sulitnya orang-orang miskin untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya? Pernah
jugakah terpikirkan bahwa dampak dari kemiskinannya mereka menjadi bodoh karena
tentunya disebabkan oleh keterbatasan pemahaman serta kemampuannya untuk
memperoleh pendidikan? Pernahkah kita mencoba melepaskan dan membiarkan hati serta
perasaan kita untuk mengembara jauh ke posisi seolah-olah sebagai orang miskin?
Kalaupun pernah, kemungkinannya hanya sebatas membayangkan permukaannya saja
tanpa menyentuh kepada hakikat yang sesungguhnya. Renungkan, seandainya sedikit
saja kita mencoba menyatu dalam perasaan dan penderitaannya, maka ada kemungkinan
cara pandang kita terhadap mereka akan lebih bijaksana. Lantas terhadap adanya
kondisi seperti ini, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab? Atau tetapkah
membiarkan mereka karena beranggapan bahwa kebodohanlah yang menjadikan mereka
miskin?
Pandangan Kebanyakan Orang
kaya.
Terhadap dirinya sendiri kebanyakan
orang kaya memandangnya sebagai orang-orang yang sukses. Mereka merasa bahwa
kesuksesannya itu lebih dikarenakan hasil dari kepandaiannya serta hasil dari
usaha kerasnya. Dengan bangga pula mereka berpikiran bahwa kemudahan-kemudahan dalam
mendapatkan kekayaannya entah itu dari jalan baik atau tidak baik adalah semata
anugrah dari Allah. Mungkin semua itu benar adanya, akan tetapi dalam kenyataannya
terkadang mereka lupa mensyukuri. Keduniaan dinikmatinya begitu khusyu tanpa
memperdulikan keadaan orang lain. Kekayaan dianggapnya sebagai label atas
kesuksesannya, sehingga dalam membelanjakannya lebih kepada kesenangan diri
sendiri. Membagi kesenangan dilakukannya juga terhadap generasi (anak-anak)nya
dengan cara membiarkan mereka menjadi tuan-tuan kecil dalam pergaulannya yang
sarat akan warna warni keduniaan. Gemerlap dunia seolah kekuasaannya di mana
orang lain seolah tidak mempunyai hak untuk menikmatinya. Barangkali itupun
benar, karena orang miskin dipastikan tidak akan mampu menikmatinya walaupun
hanya sekedar dalam sebuah bayangan.
Terhadap orang miskin tidak
sedikit orang kaya berpandangan bahwa kemiskinannya karena atas kebodohannya. Mereka
dianggapnya sebagai orang yang malas bekerja dan malas berusaha, terlebih
terhadap mereka peminta-minta di jalanan yang seolah hanya mengandalkan belas
kasihan orang lain. Mungkin saja anggapan itu ada benarnya, akan tetapi
kenyataannya banyak orang miskin yang kesulitan mendapatkan pekerjaan layak
karena terganjal oleh rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Terkadang
orang-orang kaya tidak menyadari bahwa cara pandang orang miskin terhadap masa
depan yang notaben mereka bodoh berbeda dengan kebanyakan orang pandai. Mereka
(orang miskin) hanya mampu berpikir sebatas bagaimana untuk bisa mengisi periuk
nasinya, sehingga meskipun disediakan pendidikan gratis tetapi kebanyakan mereka
lebih menekankan kepada generasinya untuk fokus kepada mencari uang. Adapun
orang-orang kaya yang terketuk hatinya, mereka membagikan sebagian hartanya
kepada orang-orang miskin, namun sepertinya tidak syah kalau tidak ditonton
oleh banyak orang seperti yang kita lihat di layar kaca, itupun kenyataannya bukanlah
kebaikan yang didapatkan malah justru sebaliknya tidak sedikit orang-orang
miskin yang mengalami penderitaan dalam antrian panjang.
Terhadap masa depan, orang-orang
kaya pada umumnya lebih fokus memikirkannya, sehingga kerap mengaplikasikan
kekayaannya kepada hal-hal yang akan menunjang kemudahan dalam mencapai
tujuannya. Seperti pada kenyataannya mereka lebih giat menumpuk harta kekayaan,
berinvestasi dalam suatu usaha, menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang lebih
tinggi dan lain sebagainya. Positif memang, namun kebanyakan mereka melupakan
pendidikan ahlaki yang justru akan membangun kehidupan dan kebahagiaan yang
hakiki.
Pandangan Kebanyakan Orang
Miskin
Terhadap dirinya sendiri
kebanyakan orang miskin memandang keberadaannya sebagai orang yang bernasib kurang
baik. Mereka merasa bahwa untuk merubah hidupnya sudah berusaha semaksimal
mungkin. Tidak ada yang bisa dibanggakan selain perjuangannya yang keras. Akan
tetapi atas tekanan penderitaannya terkadang menjadikan hati mereka buta dan
pandangan mereka gelap, sehingga tidak sedikit yang mencari peruntungan dengan
jalan tidak baik. Barangkali karena kurangnya pendidikan terlebih pemahaman
agama membuat mereka tidak menyadari bahwa kemiskinannya adalah merupakan
kehendak-Nya yang sesungguhnya juga patutlah disyukuri.
Terhadap orang kaya kebanyakan
mereka menaruh rasa sungkan dan segan. Entah karena arogansi orang-orang kaya, sehingga
banyak orang-orang miskin yang berperilaku begitu tunduk dan mengekspresikan
sikap hormatnya dengan cara berlebihan. Apalagi terhadap orang-orang kaya yang
berlaku sebagai majikannya, sepertinya mereka begitu takut dan mengagungkannya
seakan keagungannya melebihi Tuhan. Terlepas dari hal tersebut, adakalanya penyakit hati membelokan pandangan lurus orang
miskin, sehingga tidak sedikit mereka yang berpikiran negatif dan menebar su’udhon terhadap mereka yang kaya, semisal
mengatakan bahwa kekayaannya didapat dari hasil tidak halal ataupun hasil
perbuatan syirik dan lain sebagainya.
Terhadap masa depan, pada umumnya
orang-orang miskin tidak sempat memikirkannya. Mereka lebih kepada memikirkan
bagaimana bisa makan hari ini, esok dan lusa. Bagi mereka sepertinya yang
dikatakan masa depan itu adalah besok dan lusa, bukan lima tahun atau sepuluh
tahun yang akan datang, sehingga kebanyakan mereka mengabaikan pendidikan generasinya
yang justru paling tidak akan membantu kepada pencapaian kehidupan yang layak. Tidak
bisa disalahkan juga, mungkin karena selain keterbatasan pemahaman juga
keterbatasan biaya, sehingga mereka tidak mampu berbuat banyak. Adapun pada
kenyataannya program pendidikan gratis yang disodorkan pemerintah pada umumnya hanyalah
sebatas gratis terhadap SPP bulanan saja, tidak untuk pakaian seragam ataupun
lain-lainnya. Seberapapun besarnya biaya, bagi orang-orang miskin dirasakannya
begitu memberatkan.
Kaya dan Miskin Adalah
Sunatullah.
Dalam konteks ini tentu ada hukum
keseimbangan yang diciptakan sedemikian rupa oleh Allah SWT. Berpasang-pasangan adalah Sunatullah. Ada
baik dan buruk, sebab dan akibat, siang dan malam, laki-laki dan perempuan, orang
kaya dan orang miskin, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu merupakan
ketentuan-Nya dalam pengaturan keseimbangan terhadap bergulirnya roda kehidupan
manusia yang begitu sempurna. Mari kita bayangkan, andai saja di dunia ini
dihuni oleh orang kaya semua atau sebaliknya orang miskin semua, maka apa yang
akan terjadi. Dalam hal keberadaan orang kaya dan orang miskin tentunya sudah
diatur oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an :
”dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan dan menyempitkan rejeki
bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.” (Az Zumar, QS 39:52)
Menyimak kandungan ayat tersebut,
maka jelas bahwa besarnya rejeki seseorang telah diatur oleh Allah SWT dan satu
sama lainnya tentunya akan berbeda, artinya adanya orang kaya atas sebab Allah
melapangkan rejekinya dan adanya orang miskin atas sebab kehendak-Nya juga
menyempitkan rejekinya. Oleh karena itu, hendaknya orang-orang miskin atau orang-orang
yang disempitkan rezekinya senantiasa melapangkan hati dengan mensyukukuri apapun
keadaan yang diberikan-Nya serta menjauhi prasangka negatif terlebih su’udhon kepada orang-orang yang
dilebihkan rezekinya. Begitu juga orang-orang kaya atau orang-orang yang
dilebihkan rezekinya, seharusnyalah berlaku bijaksana dan mensyukuri apa yang
didapatkannya dengan cara berbagi kepada orang-orang miskin, karena tentunya
semua itu sudah merupakan keputusan Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Qur’an :
”Maka (sebagai
sikap rasa bersyukur) berikanlah kepada kerabatmu, dan orang miskin serta orang
musafir akan haknya masing-masing; pemberian yang demikian adalah baik bagi
orang-orang yang bertujuan memperoleh keridhaan Allah, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ar-Ruum, QS 30 : 38).
Bahkan dalam ayat lain dikatakan bahwa belum sempurna kebaikan seseorang
apabila belum melaksanakan apa yang disyariatkan-Nya yakni menafkahkan sebagian
harta yang dicintainya kepada kaum fakir miskin, sebagaimana firman-Nya :
”kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu
nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ’Imran,
QS 3 : 92).
Kaya Dan Miskin Adalah Ujian
Pandangan orang kaya terhadap orang miskin dan sebaliknya pandangan orang
miskin terhadap orang kaya terkadang menjadi sebuah friksi perilaku sosial yang
sulit disatukan, sehingga menyebabkan terbentuknya sebuah jurang pemisah yang
begitu lebar. Orang-orang kaya ingin dihormati sementara orang-orang miskin
inginnya dihargai, lalu timbul sebuah resistensi dalam hal adab dan etika
pergaulan. Pada akhirnya orang-orang kaya enggan untuk menyatukan diri dengan
orang-orang miskin, begitupun sebaliknya orang-orang miskin merasa segan untuk melibatkan
diri ke dalam pergaulannya dengan orang-orang kaya. Ibarat minyak dalam air,
bersama tapi tidak bersatu. Itulah kenyataan sosial yang sepertinya sudah
membudaya dan mewarnai kehidupan manusia. Sudah barang tentu kondisi tersebut sangatlah
bertentangan dengan ajaran Islam, di mana seharusnya manusia bersatu dalam kebersamaan
mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :
”dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara;”
(Ali’Imran, QS 3 : 103)
Keberadaan manusia baik kaya ataupun miskin, ningrat atau orang
kebanyakan, sehat atau cacat dan apapun keadaannya di hadapan Allah SWT adalah
sama statusnya. Derajat manusia yang terangkat ke hadapan Allah SWT
sesungguhnya hanyalah manusia yang beriman dan bertakwa serta senantiasa
bersyukur. Sedangkan derajat manusia atau status sosial dalam hubungannya
dengan kehidupan di dunia adalah semata merupakan ujian dari Allah SWT,
sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an :
”dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan
sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu)
berkata: ’Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah
kepada mereka?’ (Allah berfirman): ’Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang
orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?’ ” (Al-An’am, QS
6 : 53).
”dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat
cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’am,
QS 6 : 165).
Dengan demikian apapun keberadaan seseorang adalah merupakan
ketetapan-Nya yang wajib disyukuri. Kaya dan miskin adalah amanah yang dicobakan
atau diujikan kepada manusia, dalam hal ini manusia dituntut untuk mampu membawa
dan menjalankannya. Peraturan-Nya, bagi orang-orang kaya harus perduli serta
membuka hati seluas-luasnya terhadap orang-orang miskin dengan cara ikhlas
membagi kekayaannya, sebagaimana firman Allah SWT :
”Maka (sebagai
sikap rasa bersyukur) berikanlah kepada kerabatmu, dan orang miskin serta orang
musafir akan haknya masing-masing; pemberian yang demikian adalah baik bagi
orang-orang yang bertujuan memperoleh keridhaan Allah, dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ar-Ruum, QS 30 : 38).
Sementara bagi orang-orang miskin
harus bisa menerima dengan ikhlas, sabar dan tawakal terhadap penderitaannya.
Seseorang menjadi miskin juga bisa terjadi karena dosa atas pelanggaran
Peraturan-Nya, sehingga Allah menarik seluruh harta kekayaannya. Bagi orang
beriman hal ini tidaklah berarti sesuatu yang buruk, karena semuanya itu merupakan
cobaan atas kasih sayang Allah SWT kepada umat-Nya. Sebagaimana Rasulullah
bersabda :
”Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik, maka ia
diberinya cobaan.” (HR. Bukhari).
”Seorang muslim yang tertimpa penderitaan, kegundahan, kesedihan,
kesakitan, gangguan dan kerisauan sehingga terkena duri, semuanya itu merupakan
kafarat (penebus) dari dosa-dosanya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Sebuah kepastian, Allah SWT tidak akan
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Seberat apapun
cobaan yang dianugerahkan kepada umat-Nya, tentu Allah SWT tidak akan pernah
membiarkannya terhanyut dalam kesulitan yang nyata. Kuncinya adalah
beriman dan bertakwa, sebagaimana firman-Nya :
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya.” (Al-Baqarah, QS 2 : 286).
”....Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya
Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
(yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq, QS 65 : 2-3).
Di negeri ini cukup banyak jumlah orang-orang
yang dikategorikan miskin. Terlepas dari akurasinya, tahun 2008 pemerintah
mencatat jumlahnya hampir 15 % dari jumlah penduduk secara keseluruhan atau
sekitar 32,38 juta orang. Sebuah kemungkinan, mengacu kepada banyaknya bencana
alam antara tahun 2009 hingga tahun 2010, maka saat ini jumlah orang miskin
bisa bergeser menjadi 15 % atau lebih. Katakanlah 15 %, maka perbandingannya
antara yang mapan dengan yang miskin angkanya cukup spektakuler yakni 85:15. Jika
saja manusia dalam mengarungi kehidupannya berpedoman kepada Peraturan Allah
SWT, maka tidak mustahil masalah kemiskinan di negeri ini bisa tertanggulangi. Itu
memang sebuah teori, akan tetapi Peraturan Allah adalah sebenar-benarnya
peraturan yang apabila dijalankan akan nyata kebaikannya. Mungkinkah kita bisa
melakukan hal yang demikian? Tidak dapat dipastikan, karena terhadap sejumlah
bantuan yang adapun dari pemerintah, kenyataannya tidak sampai seutuhnya ke
tangan orang-orang yang berhak menerimanya. Itulah pemandangan kehidupan yang
ada saat ini. Sebuah indikasi penyimpangan moral manusia di mana hati dan
perasaan sepertinya sudah tertutup, sehingga sudah sebegitu jauhnya penganiayaan
terhadap orang-orang miskin.
Bukanlah sesuatu yang berlebihan
jika kita mengharapkan perubahan pandangan orang kaya dan orang miskin, di mana
yang bengkok akan menjadi lurus dan yang terjal akan menjadi mulus. Terlepas
dari mampu atau tidak melakukannya, mari kita berteori, ”Jika ada keinginan untuk berbuat suatu kebajikan, maka lakukanlah
sekarang. Jika ada keinginan untuk berbuat sesuatu yang keji, maka tunggulah
sampai besok.” Akhirnya semoga
kesadaran akan datang memenuhi relung hati kita, sebab janji Allah pasti datang
dan benar.******