Oleh : Zamid al Zihar
Bila membaca judul tulisan di atas
bisa dipastikan orang-orang Islam akan sangat setuju dan tidak akan ada yang
membantah bahwa ayat-ayat suci Al-Qur’an menggetarkan jiwa, meskipun barangkali
apa yang dirasakannya selama ini sepertinya tidak ada pengaruhnya dan
keyakinannya hanya semata disandarkan kepada kesucian Al-Qur’an sebagai wahyu
Allah SWT. Semakin kuat lagi keyakinan akan adanya pengaruh ayat Allah tersebut
ketika hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya orang-orang
mukmin (yang sempurna) adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar
hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah bertambah iman
mereka, dan kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal.” (Al-Anfal, QS 8 : 2).
“Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya)
lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat
Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa
yang disesatkan Allah, maka tidak ada satu pemberi petunjuk untuknya.” (Az-Zumar, QS 39 : 23).
Pertanyaannya sekarang, benarkah ayat
suci Al-Qur’an bisa mempengaruhi psikologis manusia yang mendengarkannya atau
membacanya? Di manakah letak pengaruhnya terhadap jiwa manusia? Tidak sedikit
orang awam mengatakan bahwa ketika membaca ataupun mendengarkan ayat suci
Al-Qur’an sepertinya tidak berpengaruh apa-apa. Mungkin saja demikian, karena
ketika kita menyimak isi ayat-ayat tersebut di atas, maka sepihak kita bisa
menarik kesimpulan bahwa terhadap orang-orang yang berkriteria mukminlah
ayat-ayat Allah tersebut akan berpengaruh, sehingga bagi orang-orang yang
kwalitas keimananya rendah atau bagi orang-orang yang tidak mempercayai Al-Qur’an
akan sama-sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang benar. Namun benarkah
dengan kesimpulan tersebut? Lalu bagaimanakah dengan peristiwa yang terjadi dengan
saidina Umar bin Khaththab dan Utbah bin Rabi’ah?
Dalam sebuah riwayat
diceritakan tentang Umar bin Khaththab ketika keluar rumahnya bermaksud
membunuh Nabi Muhammad SAW yang dianggapnya telah memecah belah masyarakat
serta merendahkan sesembahan leluhurnya. Di dalam perjalanan dia bertemu dengan
seseorang yang menanyakan tujuannya. Lalu orang itu berkata : “Tidak usah
Muhammad yang kau bunuh, adikmu yang telah mengikutinya (masuk Islam) adalah
yang lebih wajar engkau urus.” Kemudian Umar menemui Fatimah adiknya, yang
sedang bersama suaminya membaca lembaran ayat-ayat Al-Qur’an. Ditamparnya sang
adik sehingga bercucuran darah dari wajahnya, lalu dimintanya lembaran itu dan
dibacanya :
Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Quran
kepadamu (wahai Muhammad) supaya engkau menanggung kesusahan, Hanya untuk
menjadi peringatan bagi orang-orang yang takut melanggar perintah Allah. (Al-Quran)
diturunkan dari Tuhan yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. Yaitu
(Allah) Ar-Rahmaan, yang bersemayam di atas Arasy. Dialah jua yang memiliki
segala yang ada di langit dan yang ada di bumi serta yang ada di antara
keduanya, dan juga yang ada di bawah tanah basah diperut bumi. (Thaha, QS 20 : 1-6).
Setelah selesai Umar membaca ayat tersebut gemetarlah jiwanya, lalu dia
bergegas menemui Nabi, namun kali ini bukanlah untuk membunuhnya. Begitu
bertemu, maka Rasulullah SAW menarik dengan keras ikat pinggang Umar sambil
bersabda : “Apa maksud kedatanganmu wahai putra Al-Khaththab? Saya duga kamu
tidak akan berhenti sampai Allah menurunkan siksa-Nya kepadamu.” Umar menjawab
: “Wahai Rasul Allah, aku datang untuk percaya kepada Allah dan Rasul-Nya serta
apa yang disampaikannya dari Allah.”
Peristiwa yang hampir sama diceritakan dalam riwayat lainnya, kali ini terjadi
dengan Utbah bin Rabi’ah ketika diutus oleh kaum musyrik Makkah menghadap
Rasulullah SAW. Setibanya di hadapan Nabi SAW, Nabipun membacakan beberapa ayat
dari Surah Hamim As-Sajadah. Kemudian Utbah kembali ke kaumnya, dan dari
kejauhan yang melihat Utbah berkata : “Abu Al-Walid (Utbah) datang dengan wajah
yang berbeda dengan wajahnya ketika berangkat.”
Inti dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah begitu hebatnya pengaruh
ayat-ayat suci Al-Qur’an, sehingga ketika dibaca oleh saidina Umar bin
Khaththab, maka jiwanya gemetar dan langsung luluh dihadapan Rasulullah. Begitu
juga Utbah bin Rabi’ah ketika mendengar Nabi SAW membacakan beberapa ayat saja,
maka wajahnya langsung berubah seperti ketakutan. Persoalannya, apakah saidina Umar yang sebelumnya
begitu menentang keras ajaran Nabi SAW bisa dikategorikan sebagai orang mukmin,
sehingga jiwanya bergetar ketika membaca ayat Allah? Apakah juga Utbah bisa
dikategorikan sebagai orang yang beriman, padahal sekalipun tunduk ketika
mendengarkan ayat yang dibacakan Nabi SAW tetap saja ia mengikuti kaum musrikin?
Atau juga mungkinkah bahwa apa yang terjadi dengan saidina Umar adalah karena
atas penyesalannya telah menampar adiknya hingga berdarah, begitu juga dengan
Utbah karena terkesima memandang karismatik Nabi Muhammad SAW?
Setelah saya membaca buku Mukjizat
Al-Qur’an karya M.Quraish Shihab, maka semua polemik yang terjadi dalam
pemikiran kita luntur sudah. Keyakinan akan kebenaran ayat Allah tidaklah lagi
hanya sekedar mendasarkan kepada kesucian Al-Qur’an sebagai wahyu Allah semata,
akan tetapi lebih kepada pembuktian yang nyata. Dijelaskan dalam buku Mukjizat
Al-Qur’an bahwa Muhammad Kamil Abdussamad dalam bukunya Al-I’jaz Al’Ilmi fi
Al-Qur’an menulis antara lain :
- Alat-alat observasi elektronik yang dikomputerisasi telah digunakan untuk mengukur perubahan-perubahan fisiologis pada sejumlah sukarelawan sehat yang sedang mendengarkan dengan tekun ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka terdiri dari sejumlah kaum muslim yang dapat berbahasa arab dan yang tidak pandai baik muslim maupun bukan muslim. Dibacakan kepada mereka penggalan ayat-ayat Al-Qur’an (dalam bahasa Arab) kemudian terjemahannya ke dalam bahasa Inggris. Percobaan ini membuktikan adanya pengaruh yang menenangkan hingga mencapai 97 persen. Pengaruh tersebut bahkan terlihat dalam bentuk perubahan-perubahan fisiologis yang tampak melalui berkurangnya tingkat ketegangan syaraf. Rincian dari hasil-hasil eksperimen ini telah dilaporkan pada konferensi tahunan XVII Organisasi Kedokteran Islam Amerika Utara yang diselenggarakan di Santa Lusia pada Agustus 1984.
- Telah dilakukan pula studi perbandingan untuk mengetahui apakah pengaruh serta dampak-dampak fisiologis tersebut benar-benar disebabkan oleh Al-Qur’an bukan oleh faktor-faktor luar seperti suara, nada dan langgam bacaan Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu, atau karena pendengaran mengetahui bahwa yang dibacakan kepadanya adalah bagian dari kitab suci. Untuk maksud studi ini digunakan alat ukur stres yang dilengkapi dengan komputer dari jenis MEDAL 3002, yaitu alat yang diciptakan dan dikembangkan oleh Pusat Kedokteran Universitas Boston di Amerika Serikat. Alat tersebut mengukur reaksi-reaksi yang menunjuk kepada ketegangan dengan dua cara. Pertama, pemeriksaan psikologis secara langsung melalui komputer. Kedua, pengamatan dan pengukuran perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh.
- Percobaan dilakukan sebanyak dua ratus sepuluh kali terhadap lima orang sukarelawan, tiga pria dan dua wanita yang umur mereka berkisar antara 17-40 tahun dengan rata-rata usia 22 tahun. Kesemua sukarelawan itu tidak beragama Islam dan tidak berbahasa Arab. Kedua ratus sepuluh percobaan itu dibagi dalam tiga jenis, 85 kali diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an ysng dibacakan secara mujawwad (tanpa lagu), 85 kali bacaan berbahasa Arab bukan dari ayat Al-Qur’an, dengan suara dan nada yang sama dengan bacaan mujawwad itu, sedangkan 40 kali (sisa dari 210 itu) tidak dibacakan apa-apa, tetapi diminta dari yang bersangkutan untuk duduk dengan tenang sambil menutup mata yang juga merupakan posisi mereka dalam 2 x 85 percobaan kedua jenis yang disebut sebelum ini.
- Tujuan percobaan tersebut adalah untuk mengetahui apakah redaksi ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai dampak terhadap yang mengerti artinya, dan apakah pengaruh itu (bila ada) benar-benar merupakan pengaruh redaksi ayat Al-Qur’an, bukan pengaruh nada dan langgam bahasa Arab yang asing di telinga pendengarnya. Sedangkan tujuan percobaan tanpa bacaan adalah untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh posisi dalam memberikan ketenangan. Dari hasil pengamatan awal, terbukti bahwa tidak ada pengaruh posisi duduk tanpa bacaan dalam mengurangi ketegangan, karena itu percobaan ini pada tahap akhir hanya dilakukan pada dua jenis percobaan pertama. Pada akhirnya hasil yang diperoleh adalah 65 persen dari percobaan yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai pengaruh positif dalam memberi ketenangan, sedangkan yang bukan ayat Al-Qur’an hanya 35 persen.
Dengan demikian jelas tidak ada
keraguan lagi tentang kebenarannya bahwa ayat-ayat Allah sesuai yang disebutkan
dalam Al-Qur’an dapat menggetarkan jiwa seseorang baik terhadap yang membaca
maupun yang mendengarkannya. Sebagaimana dalam proses eksperimen di atas para
sukarelawan diminta untuk duduk dengan tenang sambil menutup mata, maka itulah
barangkali sebaik-baiknya cara menyikapi bacaan ayat suci Al-Qur’an, sebagai
ditegaskan juga dalam Al-Qur’an :
“dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah
baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Al-A’raf, QS 7 : 204)***