Minggu, 09 Desember 2012

KEUTAMAAN MENGHORMATI TAMU


Oleh : Zamid al Zihar

   Terkadang kita beranggapan bahwa tamu adalah sesuatu yang menyusahkan terutama jika tamunya itu bukan orang yang sudah dikenal dekat seperti saudara, tetangga ataupun teman dekat lainnya, karena tentunya selain harus menyisihkan waktu untuk melayani keperluannya (ngobrol), juga biasanya harus menjamunya dengan setidak-tidaknya menyuguhkan segelas air putih. Terlebih lagi bila datangnya pada saat-saat kita dalam kondisi tidak siap menerimanya karena suatu kesibukan ataupun sedang istirahat. Seperti dalam guyonan orang sunda, di mana tamu atau bahasa sundanya “semah” seringkali diartikan dalam ungkapan kirata “ngahesekeun nu boga imah” artinya “menyusahkan yang punya rumah”. Padahal seandainya kita memahami akan hal yang sesungguhnya, maka bisa jadi dalam kondisi apapun kita akan sangat menyenangi terhadap setiap kedatangan tamu.

   Pada dasarnya tamu adalah orang yang datang atau berkunjung ke rumah kita dengan cara yang baik-baik, tidak terkecuali orang itu sebelumnya dikenal ataupun tidak dikenal, saudara ataupun orang lain, diundang ataupun tidak diundang, bahkan muslim ataupun non muslim. Siapapun tamu sesungguhnya adalah sesuatu yang membawa berkah dan sesuatu yang akan mendatangkan pahala. Dalam hubungannya dengan orang yang bukan muslim, ajaran Islam tidaklah memilah-milah sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an :

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Al-Mumtahanah, QS 60 : 8).

   Itulah keberadaan tamu, sebagaimana Ibnu Abas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda :

“Jika ada tamu masuk ke dalam rumah seorang mukmin, maka akan masuk bersama tamu itu seribu berkah dan seribu rahmat. Allah akan menulis untuk pemilik rumah itu pada setiap kali suap makanan yang dimakan tamu seperti pahala haji dan umrah.”

“Satu dirham yang disedekahkan oleh seorang lelaki kepada tamunya, (nilainya) lebih baik dibanding seribu dinar yang didermakan di sabilillah. Barang siapa memuliakan tamu dengan ikhlas karena Allah, maka Allah Ta’alla akan memuliakannya di hari kiamat nanti dengan seribu kemuliaan. Allah membebaskan dia dari neraka dan memasukannya ke dalam surga.”

Dalam riwayat hadis lainnya ditegaskan bahwa tamu juga membawa rezekinya sendiri serta merta membawa sesuatu yang akan menjadikan terhapusnya dosa pemilik rumah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah SAW bersabda :

“Wahai sekalian manusia, janganlah kalian membenci tamu. Karena sesungguhnya jika ada tamu yang datang, maka dia akan datang dengan membawa rezekinya. Dan jika dia pulang, maka dia akan pulang dengan membawa dosa pemilik rumah.”

Demikian juga yang diriwayatkan dalam hadis Ali Ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa kepada Ali beliau bersabda :

“Wahai Ali, jika kamu dikunjungi oleh tamu, maka ketahuilah bahwa Allah Ta’ala telah memberikan anugrah kepadamu. Sebab Dia telah mengutus sesuatu yang bisa menyebabkan dosamu diampuni.”

Bukan itu saja, bahkan cahaya kebaikannya akan menyinari bukan saja hanya kepada pemilik rumah, akan tetapi juga kepada semua orang yang menghuni rumah tersebut, seberapapun banyaknya dan seburuk apapun keimanan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Mu’adz Ibnu Jabal ra. :

“Tidak ada satu rumahpun yang dikunjungi oleh tamu, kecuali Allah Tabaarak wa Ta’ala mengutus ke rumah tersebut satu malaikat yang menyerupai burung selama empat puluh hari sebelum tamu itu sampai. Malaikat itu akan menyeru : ‘Wahai pemilik rumah si fulan ibn si fulan, tamu kalian akan dating pada hari ini dan itu. Sedangkan balasan dari Allah adalah ini dan itu.’ Para malaikat yang diwakilkan untuk menjaga rumah itu berkata : ‘Setelas balasan apa lagi yang akan diterima?’ Maka keluarlah malaikat tadi kepada mereka dengan membawa sebuah catatan yang tertulis : ‘Allah telah mengampuni penghuni rumah tersebut, meskipun jumlah mereka seribu.’”

“Tidak ada seorang hamba mukminpun yang memuliakan seorang tamu ikhlas karena Allah Yang Maha Dermawan, kecuali Allah akan memperhatikannya sekalipun dia berada di antara kerumunan orang. Seandainya tamu yang datang termasuk ahli surga dan pemilik rumah ahli neraka, maka Allah Ta’ala menjadikan pemilik rumah tersebut termasuk ahli surga karena telah memuliakan tamunya.”

   Tentu saja pahala yang begitu besar nilainya itu tidak akan pernah kita peroleh, kecuali jika kita mau menghargai dan menghormati tamu tersebut dengan tulus dan ikhlas yang ditunjukkan bukan saja dengan hanya berperilaku dan bersikap baik, akan tetapi juga dalam hal jamuan yang disuguhkanpun hendaknya berasal dari barang-barang yang baik (halal). Begitulah keharusan memuliakan tamu yang diisyaratkan bagi orang-orang beriman, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR.Muslim).

   Tentang jamuan makanan, Ibnul Jauzy dalam bukunya “Sukses Meraih Surga” membagi jamuan makanan menjadi tiga macam yakni makhluf (akan diganti), masluf (berlalu begitu saja) dan matluf (lenyap tidak dihiraukan). Jamuan makhluf adalah makanan yang disuguhkan ikhlas karena Allah, di mana pemilik makanan sama sekali tidak berniat selain Allah dan tidak mengharapkan adanya balasan. Jamuan masluf adalah jamuan yang disuguhkan atas dasar timbal balik atau balasan terhadap perlakuan yang sama yang dilakukan oleh tamu tersebut ketika kita bertamu kepadanya. Sementara jamuan matluf adalah segala jamuan yang disuguhkan untuk tujuan maksiat yakni jamuan yang berasal bukan dari sesuatu yang halal, misalnya minuman keras atau barang yang tidak diridhai Allah lainnya. Untuk jenis jamuan makhluf dan masluf dapat mendatangkan pahala bagi pelakunya, hanya saja jamuan makhluf memiliki kadar pahala yang lebih besar dari jamuan masluf. Sedangkan jamuan matluf baik terhadap pemilik maupun tamunya akan menjadikan penyesalan dan kerugian kelak pada hari kiamat.

   Begitu mulianya balasan Allah kepada orang yang senantiasa memuliakan tamunya. Begitu besarnya anugrah yang dilimpahkan-Nya. Sehingga agar umatnya senantiasa tidak bosan dalam menghormati tamunya, maka Rasulullah SAW menganjurkan untuk tidak berlebihan dalam menyediakan jamuan,  karena hal ini akan membuat jemu dan bosan. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa kepada Aisyah beliau bersabda :

“Wahai Aisyah, janganlah kamu terlalu berlebih-lebihan (ketika menjamu) tamu sehingga hal ini membuatmu bosan.”

   Bagaimana dengan tamu yang datang dengan tujuan tidak baik? Memang tidak semua tamu membawa niat baik meskipun datangnya dengan baik, adakalanya mereka datang dengan maksud tidak baik misalnya mengajak kemaksiatan, mengajak membicarakan keburukan orang lain (gibah), menipu untuk mendapatkan keuntungan, memaksa untuk mengambil harta benda dan lain sebagainya. Katakanlah kita tertipu oleh kedatangannya dengan penampilan dan sikapnya yang baik, maka terhadap orang-orang yang demikian hendaklah semampu kita untuk berusaha menghindarinya dan bila perlu bersikaplah tegas. Allah Maha Mengetahui dan Maha Melindungi, cukuplah kepada-Nya memohon pertolongan, sementara pahala terhadap niat baik yang telah kita gulirkan tidak akan menjadi sia-sia dan akan senantiasa tetap tercurah. Sebagaimana Allah SWT berfirman :

“Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya Cukuplah Allah (menjadi Pelindungmu). Dia-lah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin.” (Al-Anfal, QS 8: 62)

“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Yusuf, QS 12 : 115)

   Begitu juga ketika kita bertamu, Allah SWT tidak akan melepaskan kita dari curahan kebaikan tentunya jika kita mau memperhatikan etika-etika tertentu dalam adab bertamu sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (An-Nur QS 24 : 27).

“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu ‘Kembali (saja)lah”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nur QS 24 : 28).

“Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk di diami, yang di dalamnya ada keperluan, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (An-Nur QS 24 : 29).

   Begitulah ajaran Islam, baik bertamu terlebih memuliakan tamu telah digariskan oleh Allah SWT dalam sebuah ketentuan yang tentunya akan membawa kita kepada kebaikan, serta anugrah yang dilimpahkan-Nya begitu indah.*****

MENJARING CAHAYA


CERPEN (Buah Inspirasi : Adinda Majang Mulyadi)

 “Banyak orang yang tidak memainkan peran yang seharusnya mereka perankan. Mereka hidup tetapi seperti orang yang sudah mati. Mereka tidak menangkap apa rahasia dibalik kehidupan mereka. Mereka tidak melakukan yang terbaik untuk masa depan umat maupun diri mereka sendiri“ (Dr. Aidh al-Qarni).

          Masih teringat jelas apa yang dikatakan nenek kepadaku bahwa : “kehidupan agama sekarang ini semakin tersisihkan bahkan nyaris terlupakan, dimana kebanyakan orang lebih disibukkan oleh urusan duniawi ketimbang urusan akhirat”. Perkataan itu terlontar dua tahun yang lalu di celah percakapan kami ketika aku tengah berlibur di rumahnya selepas kelulusan SD sekitar pertengahan tahun 2011. Nenekku tinggal di kota kelahiranku Bogor, sementara sejak usiaku dua tahun aku diboyong papa sejalan dengan tugas kerjanya tinggal di Tasikmalaya. Seperti biasanya jika aku berkunjung ke rumah nenek, aku begitu dimanja dan disayang, bahkan kerap diajak bercakap-cakap serta diberi nasihat baik yang berhubungan dengan sekolah maupun ibadah. 

           Terhadap apa yang dikatakan nenekku itu aku hanya sebatas bisa memahami, tapi jujur masih buram untuk bisa memaknainya lebih dalam, maklum pada saat itu usiaku baru menginjak 12 tahun dan boleh dibilang masih relative belia untuk bisa menangkap bobot kalimat yang tidak biasanya kudengar serta bukan bahasa percakapan hari-hari dalam pergaulan sebayaku. Meskipun demikian aku berusaha menyimaknya dan mencoba memberikan respon dengan anggukan kepala. Nenekpun tersenyum, lalu mendekatku seraya membelai-belai kepalaku dengan penuh kasih sayang.
       “Kamu cucuku perempuan satu-satunya, kamu harus banyak belajar agama ya, lihat majelis ta’lim milik keluarga besar kita itu, nenek mengharapkan sekali kamu bisa melanjutkannya bahkan harus bisa lebih maju lagi.” Katanya sambil tangan kanannya menunjuk ke arah sebuah bangunan sarana majelis ta’lim yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah.
       “Ya nek, insya Allah…” Sahutku dengan nada seolah menggenggam sebuah kepastian.
       “Oh ya, bagaimana ngajimu sudah lancar belum?”
       “Cuma bisa nek, tapi belum lancar.”
       “Gak apa-apa, kamu anak pandai, belajar terus ya..” Pungkas nenek sambil memelukku dengan rengkuhan memanjakan. Aku tersenyum bahagia, terlebih di hatiku ada perasaan tersanjung.

          Obrolan nenek denganku pada saat itu kuanggap hanyalah obrolan biasa, tidak ada yang berlebihan, sebab akupun tahu bahwa majelis ta’lim memang merupakan wadah keagamaan, dan nenek mengharapkan kelak aku terlibat di dalamnya alih-alih bisa menggantikan posisi nenek yang sudah berpuluh tahun sebagai pengelola. Tak ada yang luar biasa, bahkan kuanggap harapan nenek kepada cucunya itu adalah wajar adanya. Sempat juga isi obrolan kami kusampaikan kepada papa, dan papa menanggapinya dengan tersenyum sembari bilang : “itu bagus sayang, papapun sama seperti nenekmu, berharap kamu menjadi anak yang ta’at beribadah.”

          Entah apa yang menjadikanku terdorong untuk lebih mengetahui dan mendalami ilmu agama, yang pasti sekembali dari Bogor hati dan pikiranku merambah kepada dunia keislaman. Mungkin hal itu tidak sewajarnya hadir dalam pikiran anak-anak seusiaku, namun itulah kenyataannya, dari perkataan nenekku itu seolah aku mendapatkan setitik cahaya untuk menapak pada jalan sesungguhnya yang harus dilalui. Oleh karena itu aku bilang kepada papa : “Enda ingin melanjutkan sekolah di pesantren pa..”. Keputusanku disambut baik oleh papa, lalu papa segera mencarikan pesantren yang sesuai dengan keinginanku, pesantren yang agak modern sekaligus ada pondokannya.

          Tahun ajaran baru tiba, aku mulai masuk sekolah setingkat SMP di salah satu pesantren yang boleh dibilang mempunyai nama di Tasikmalaya. Aku mulai hidup mandiri, tinggal bersama teman-teman baruku di pondok pesantren. Dunia pesantren memang bukanlah hal yang asing bagiku, karena selama inipun kerap aku menuntut ilmu agama di pesantren yang tidak jauh keberadaannya dari rumah, walaupun istilah ponpes aku disebut sebagai santri kalong. Namun di pesantren yang aku lalui saat ini, aku dihadapkan kepada sesuatu yang berbeda dengan kehidupanku hari-hari di rumah, sungguh semula aku merasakan berat dan tertekan serta nyaris menyatakan tidak sanggup. Bagaimana tidak, aku harus tidur berdesakan di satu kamar, harus bangun pagi dan segala sesuatunya harus dijalani tepat sesuai jadwal, intinya aku dituntut harus disiplin. Tidak jarang ketika berkunjung ke ponpes, papa dan mama memberikan pengertian serta membesarkan hatiku untuk tetap teguh kepada keinginan dan keyakinan.

          Waktu berjalan, hari-harinya dari pendidikan umum hingga pendidikan akhlaki yang sarat terpaan disiplin kulalui. Aku harus mampu, namun tidak bisa kupungkiri gejolak hati untuk sebuah kebebasan di luar jalur ketentuan lingkungan pondok selalu mengganggu pikiran. Sejalan dengan itu, timbul keraguan untuk mampu bertahan, bahkan sempat tersirat keinginan untuk keluar. Klimaknya suatu malam menjelang tidur, benakku melayang menjangkau kehidupan diluar sana, pikiranku berselancar dengan keceriaan anak-anak seusiaku dengan kebebasannya berekspresi. Namun ketika pikiranku tertuju kepada tingkah laku anak-anak yang begitu pongah dengan sarana teknologi, dan ketika membayangkan mereka ber-game ria di warnet dengan tanpa mengenal waktu, maka satu poin aku mendapatkan sesuatu yang membuat pikaranku menjadi sedikit dewasa, aku menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sia-sia dan hanya membuang-buang waktu saja. Belum lagi ketika pikiranku tertuju kepada kehidupan orang-orang dewasa yang sibuk dengan dunianya demi kepentingan jasmani serta tanpa memperhatikan waktu untuk bersiram rohani, bahkan hal seperti itu mungkin saja terjadi dengan papaku yang selama ini terkadang berangkat pagi dan pulang larut malam, bukan su’udzon meskipun papa rajin ibadah, bisa saja karena kesibukannya lantas melupakan kewajiban yang hakiki.  

          Berangkat dari jelajah pikiranku itu, mengalir setitik cahaya terang membasuh hati, cahaya yang mengukir kekuatan jiwa untuk tetap teguh dengan keinginanku, cahaya yang memacu semangatku untuk meraih ilmu keagamaan, cahaya yang membuka pandangan buram menjadi bening. Sesaat itu kembali teringat apa yang pernah dikatakan nenek bahwa sekarang ini kebanyakan orang-orang lebih kepada kesibukan untuk kepentingan duniawi dibanding kepentingan akhirat. Jika mengacu kepada kenyataan yang ada, maka sepertinya apa yang dikatakan nenek itu benar. Kini aku bukan sekedar lagi memahami artinya, akan tetapi lebih jauh mulai memahami maknanya, bahwa tujuan hidup kita sesungguhnya bukanlah menumpuk perbekalan kehidupan di dunia melainkan seharusnya menumpuk perbekalan untuk kehidupan di alam kekal. Terlebih lagi aku pernah membaca tulisan Dr. Aidh al-Qarni : Bahwa banyak orang yang tidak memainkan peran yang seharusnya mereka perankan, Mereka hidup tetapi seperti orang yang sudah mati, Mereka tidak menangkap apa rahasia dibalik kehidupan mereka, Mereka tidak melakukan yang terbaik untuk masa depan, umat maupun diri mereka sndiri “. (Dalam buku yang berjudul Shina’atul Hayati/Merancang Kehidupan dengan penulis Al-Rasyid).

          Sejak itu aku lebih bersemangat, perlahan tapi pasti segala kondisi yang bertolak belakang dengan jiwa mudaku mampu kutepis dengan selalu berusaha melangkah pada rel ketekunan dan kesabaran. Waktu bergulir, cahaya demi cahaya hadir membantu menguatkan hatiku untuk tetap tegar menjalani kehidupan dalam meraih ilmu di ponpes. Ditopang oleh cerita dan pesan nenek tentang majelis ta’lim, juga dipandu papa dan mama tentang kesabaran, aku berusaha menghalau waktu yang sia-sia dan hasilnya secara perlahan aku mampu menembus jalan terjal menuju waktu yang bermanfaat. Aku semakin yakin dan percaya Allah akan memberikan yang terbaik bagi kehidupanku kelak. Kini di tengah derasnya badai keceriaan dan kesenangan duniawi, aku bisa merasakan ringan dalam melakukan segalanya, bahkan seiring dengan itu timbul rasa nyaman dan rasa hampapun berganti keindahan. Inilah mungkin yang dikatakan indah pada waktunya, indah dengan disiplinnya belajar mengendalikan diri, indah berada di lingkungan dengan halaman yang luas, indah tidur berdesakan karena ada rasa kebersamaan, indah bangun pagi dengan melakukan sholat berjamaah dan segalanya dirasakan menjadi indah. Semoga Allah selalu memberikan keindahan dalam perjalanku menuntut ilmu di pesantren ini, sehingga kelak aku mampu menghadirkan segenggam cita-citaku serta merealisasikan apa yang menjadi harapan nenek. Bukan bermaksud berlebihan jika akupun berharap mampu merubah paradigma kehidupan, dimana urusan akhirat ditempatkan pada posisi prioritas dari urusan duniawi. Amiin.***
(Zamid al Zihar : menyunting dari tulisan asli Adinda Majang, pelajar Kls II SMP / santriwati ponpes Nurul Wafa Gunung Hideung, Sukarame, Tasikmalaya).

Jumat, 07 Desember 2012

CATATAN HARIAN ANATA


CERPEN  (Buah Inspirasi : Jingga Antartika)
"Kehidupan adalah skenario Tuhan dengan segala ketentuannya.
Jika saja kita mau memahami maknanya serta menjalaninya dengan tulus, ikhlas dan tawakal tanpa melepaskan ketentuan-NYA, maka segala sesuatunya dalam kehidupan ini akan bisa dilalui dengan terasa mudah dan ringan." 

"Kehidupan adalah keajaiban yang kita miliki.
Jika saja kita mau menerimanya dengan sepenuh hati, maka segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini akan bisa dirasakan sebagai sesuatu kebaikan, bahkan tidak mustahil hadirnya sebuah keputusan Tuhan di luar jangkauan nalar serta kekuatan normal kita."

          Seperti biasanya sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi, aku bersama teman-teman sekelasku menghabiskan waktu dengan ngobrol dan bercanda. Ada yang hanya duduk-duduk sambil membenahi buku dibangku ruang kelas, ada yang berdiri di serambi pelataran kelas, bahkan ada juga seperti kelompok kami yang duduk-duduk di taman sekolah. Belum genap  dua bulan kami menjadi pelajar kelas satu di SMP itu, sehingga bisa dimaklumi jika di antara kami terlihat seperti ber-geng, karena memang baru beberapa orang saja yang saling mengenal lebih dekat itupun karena satu group ketika kami menjalani MOS masuk SMP.
          Canda dan tawa sebagai ekspresi dari suasana gaul kami mewarnai pagi yang cerah. Udara yang segar berbaur hangatnya sinar mentari membias di antara keceriaan kami. Arsya, Rima, Sinta, Dewi dan Fitri, mereka di antara teman-teman yang saat itu ada bergabung bersamaku. “Tasya..!” tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku seiring bel masuk berbunyi, lalu aku menengok ke arah suara itu.
          “Hai, Anata kamu baru datang ya.” Tukasku seraya menghampirinya.
           “Ya, aku terlambat, papaku gak bisa nganter, motornya mogok.” Kata Anata yang biasanya datang lebih awal dari kami.
          “Pas, tidak terlambat, ayo kita masuk.” Ajakku seraya menggandengnya dan membantu memapah langkahnya ke arah teman-teman lainnya yang antri masuk ruang kelas.  
          Anata teman baruku di SMP juga teman sebangkuku, seorang gadis sebayaku yang memiliki keadaan fisik tidak sempurna. Ia berjalan dibantu sebilah tongkat, karena tidak memiliki kaki kanan sebatas pangkal betis. Namun cacat fisik yang dideritanya sejak lahir sepertinya bukanlah kendala baginya untuk melakukan segala sesuatunya baik dalam kegiatan hari-hari, belajar di sekolah maupun dalam pergaulan. Di sekolah, Anata menunjukan sebagai seorang pelajar yang berpotensi. Ia merupakan bintangnya pelajar, karena hampir semua mata pelajaran bisa diikutinya dengan tanpa kesulitan. Aku banyak belajar dari dia, bahkan acapkali aku datang ke rumahnya hanya untuk minta dibimbing dalam mengerjakan soal-soal pelajaran yang merupakan pekerjaan rumah dari guru.
          Jam pelajaran pertama hari itu matematika. Di celah mengajarnya, Bu Ningrum menulis sebaris soal pada papan tulis, lalu menawarkannya kepada para murid untuk mengangkat tangan bagi yang bisa mengerjakannya. Semuanya terdiam, sebagian tatapannya ada yang tertuju kepada tulisan soal tersebut, sebagian lainnya ada yang tertunduk sambil membuka-buka buku pelajaran. Anata terlihat melirik ke arah teman-temannya, ke sebelah kiri, kanan, depan dan belakang, kemudian melirik langsung kepadaku seraya berbisik.
          “Kamu bisa.”  Tanyanya kepadaku.
          “Aku lupa jalannya..” jawabku sambil menggelengkan kepala. Lalu sesaat itu Anata mengangkat tangannya sebagai tanda kesiapan untuk mengerjakannya.
          “Ada yang lainnya?, Coba jangan selalu Anata.” Pungkas Bu Guru Ningrum yang selain guru matematika juga wali kelas kami. Beliau merespon kesiapan Anata seraya melemparkan tatapannya ke arah murid-murid lainnya serta berharap ada yang bisa mengerjakannya, karena Anata sudah terbiasa dan hasilnya selalu benar. Aku memberanikan diri angkat tangan meskipun jujur agak ragu untuk bisa mengerjakannya, agak sedikit ingat caranya dan banyak lupanya. Benar, setelah aku berusaha mengerjakannya ternyata hasilnya salah. Ujung-ujungnya Anata juga yang menyelesaikannya. Itulah Anata seorang yang hebat dalam pelajaran. Kami terkagum dan hanya bisa terkagum serta hanya terbersit keinginan untuk bisa seperti Anata. “Itukah kelebihan yang Tuhan berikan kepada Anata disamping kekurangannya?” Rekaku dalam hati.
 
          Waktu bergulir, kedekatanku dengan Anata semakin erat. Aku sangat menyayanginya, bukan saja karena dia terbilang seorang yang pandai dan menonjol dalam pelajaran di sekolah, atau bukan juga karena dia seorang yang memiliki kekurangan fisik,  akan tetapi lebih dari itu. Entah apa, yang pasti aku banyak belajar dari dia, dalam menyikapi kehidupan, menyikapi segala sesuatu yang dihadapi, terlebih dalam menyikapi pelajaran-pelajaran di sekolah. Dalam kondisi keterbatasan fisik, Anata selalu memperlihatkan semangatnya, hari-harinya seolah menjadi miliknya yang terpola dalam sebuah prinsip. Itulah yang aku suka, meskipun sulit mengikutinya, tetapi terpacu semangatku untuk selalu berusaha.   
          Separuh perjalanan waktu mengikuti paket pelajaran kelas satu di sekolah terlalui. Tiba saatnya para murid dihadapkan kepada ujian semester pertama. Hari-hari ujian berjalan dengan baik. Di hari terakhir, pada saat para murid tengah mengerjakan soal-soal ujian, kejadian buruk yang datangnya tidak terduga melanda kami. Percikan api dari korslet kabel listrik berubah seketika menjadi api yang membakar dahsyat pintu dan atap ruang kelas. Semuanya terhenyak panik, semuanya spontan berteriak. Pak Deni Guru pengawas ujian berjuang dengan gigih melindungi dan mengamankan kami ke tempat yang longgar dari jilatan api. Dalam keadaan ketakutan aku teringat Anata, segera aku menghampirinya lalu dengan teman-teman lainnya berusaha membantunya naik dan mendorongnya lewat jendela yang kacanya sudah dipecahkan oleh pak Deni. Berhasil, namun seketika Jendela itupun mulai terjilat api.  Lalu melalui jendela lain aku beserta teman-teman lainnya satu persatu berusaha dengan cepat meloncat keluar. Rasa sakit dan panasnya udara api kami abaikan, yang terpikir pada saat itu kami harus menyelamatkan diri dan harus bisa menerjang keluar.
           Sesaat setelah kami berhasil keluar dari ruang kelas yang terjebak api itu, suara sirene terdengar menggaung. Dengan cepat pemadam kebakaran menyemprotkan airnya ke arah api yang ternyata membakar hampir tiga ruang kelas belajar. Aku bergegas mencari Anata di tempat dia tadi kudorong keluar. Anata tidak ada di situ, yang ada hanya sebuah buku miliknya yang tertinggal, itupun nyaris tersambar api. Aku meraih buku itu, lalu aku berlari dan berusaha mencarinya.
           “Anata!..Anata!..,kamu dimana!” Teriakku. Berulangkali aku memanggilnya, namun Anata tetap tidak kutemukan, aku tidak tahu dimana dan bagaimana keberadaan dia. Di antara hiruk pikuk para guru dan semua murid-murid termasuk kakak kelas yang sibuk membantu menyelamatkan teman-teman yang terluka, mataku menatap seseorang yang digotong ke arah ambulance yang sudah ada di pintu gerbang sekolah. Aku berlari menghampirinya, ternyata pak Deni mengalami luka bakar begitu parah. Dengan suara gemetar aku bertanya kepada pak Kusnadi guru olah raga yang ikut menggotong pak Deni.
          “Dimana Anata pak?”
          “Tasya, segera kamu ke UKS, obati luka di tangan dan kakimu itu.” Tukas pak Kusnadi.
          “Iya ya, tapi Anata dimana pak?
           “Anata sudah duluan dibawa ke rumah sakit…” Jawabnya sambil bergegas ikut masuk ke dalam ambulance itu yang kemudian segera melaju. Tidak sempat lagi kutanyakan apa yang terjadi dengan Anata. Aku hanya terdiam, lalu terduduk lemas, tak terasa air mataku mengalir dan menetes jatuh di bajuku yang warnanya berubah kusam. “Anata, aku tidak tahu harus bagaimana, aku mengkhawatirkan kamu, pastinya aku menyayangimu.” Keluhku dalam hati sambil tak mampu lagi menahan tangis.

          Untuk beberapa hari kami diliburkan. Dari akibat kejadian itu tidak ada ujian ulangan, entah pertimbangan apa, atau mungkin karena hanya satu mata pelajaran sehingga diberikan dispensasi kebijaksanaan nilai.  Sejak itu sama sekali aku tidak mendapatkan kabar dari Anata. Pernah aku datang ke rumahnya, namun tidak ada orang di rumahnya dan menurut tetangganya oleh kedua orang tuanya Anata dibawa ke rumah sakit luar kota. Entah dimana tidak ada yang tahu. Jujur aku merasa kehilangan, hanya keceriaannya saja yang selalu kubayangkan. Sejenak aku teringat bukunya yang ketinggalan, lalu kubuka dan ternyata bukan buku pelajaran. Sebuah buku tulis yang isinya penuh catatan harian yang menggambarkan keberadaan kehidupannya. Kemudian kubaca beberapa kalimat dalam tulisannya :

 “Kehidupan adalah skenario Tuhan dengan segala ketentuannya. Jika saja kita mau memahami maknanya serta menjalaninya dengan tulus, ikhlas dan tawakal tanpa melepaskan ketentuan-NYA, maka segala sesuatunya dalam kehidupan ini akan bisa dilalui dengan terasa mudah dan ringan. Kehidupan adalah keajaiban yang kita miliki. Jika saja kita mau menerimanya dengan sepenuh hati, maka segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini akan bisa dirasakan sebagai sesuatu kebaikan, bahkan tidak mustahil hadirnya sebuah keputusan Tuhan di luar jangkauan nalar serta kekuatan normal kita.”

Hati ini begitu tersentuh setelah membaca tulisan itu. Dan Itu pulalah barangkali yang menjadi prinsip dalam hidupnya, sehingga tidak ada kesempatan untuk menyerah. “Anata, aku berdoa untuk kamu, berharap tidak terjadi apa-apa denganmu.” Desahku dalam hati.

          Saatnya pembagian raport, seperti biasanya hasil perkembangan belajar para murid diterimakan kepada para orang tua atau wali murid. Anata tidak hadir begitu juga orang tuanya. Sebelum raport dibagikan, Pak Deni dengan balutan kain perban di pangkal kedua tangannya serta di sebagian kepalanya tampil di lapangan halaman sekolah mengumumkan sederet nama yang berprestasi. Di antaramya namaku disebutkan sebagai juara satu di kelasku, sementara Anata meraih prestasi gemilang dengan menyandang juara umum di sekolah. Satu sisi aku merasa gembira meskipun jujur rasanya belum pantas menyandang predikat juara, namun sisi lain aku merasa sedih sebab Anata tidak ada bersama kami.  
          Pembagian raport selesai, mamaku pulang duluan, sementara aku sengaja bareng teman-temanku. Untuk beberapa saat kami duduk-duduk di halaman kelas. Dibalik keceriaanku bersama teman-teman, Anata tidak lepas dari bayanganku. Terkadang aku terdiam, coleteh Anata yang selama ini kental di kupingku sepertinya  sulit untuk lari dari pikiran.
          “Tasya, semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan Anata.” Kata Fitri dengan tiba-tiba dan sepertinya dia tahu apa yang ada dalam pikiranku.
          “Ya, aku harap begitu, yang menjadi masalah sampai saat ini aku tidak mengetahui kabarnya.” Jawabku dengan nada tertahan.
          “Semua dari kami tidak ada yang tahu, bahkan bu Ningrumpun jika ditanya selalu bilang Anata dalam keadaan baik, memang itu yang kita harapkan, mudah-mudahan saja demikian.” Rima ikut menyambung pembicaraan, nadanya meyakinkan kepadaku kalau tidak terjadi sesuatu yang serius terhadap Anata.
           “Ya sudah, yuk kita pulang, kita berdoa saja semoga Anata cepat sembuh dan bisa bersama kita lagi.” Ajak Fitri seraya bangkit dari duduknya dan menarik tanganku untuk berdiri.
          Lalu kami bersiap-siap untuk pulang, namun belum sempat kaki melangkah terlihat seseorang keluar dari ruang kepala sekolah dengan tangan kirinya digendong kain, dan kepalanya terbalut kasa perban menutupi sebagian rambutnya. Sejenak mataku terpaut focus tanpa kedip, bibirku membisu kelu serta kakiku gemetar dan seakan terpahat dalam injakan. Sadar yang kulihat adalah temanku yang selama ini kukhawatirkan, dengan tanpa memperdulikan lagi sekelilingku, aku berteriak sekencang-kencangnya.  “Anataaa..!” Kemudian aku berlari ke arahnya diikuti teman-temanku seraya langsung kupeluknya erat-erat. Kulepaskan tangisku dengan penuh keharuan, air mataku mengalir deras membasahi pundaknya. Begitu juga Anata, tangisnya tidak terbendung ketika tahu dipelukannya adalah aku yang setiap saat selalu bersamanya. Rima, fitri, Arsya, Dewi, Sinta serta teman-teman lainnyapun terharu dan meneteskan air mata sembari bergantian memeluk kami.
          “Teman, aku merindukanmu, aku sangat mengkhawatirkanmu, kamu kemana selama ini.” Desahku tersendat berbaur tangisan yang sulit kuhentikan.
          “Entahlah sahabatku, sebuah reruntuhan kayu padat dan panas pada saat kejadian itu membentur hebat kepalaku dan membuatku tidak ingat apa-apa lagi. Bahkan kata papa, dokter bilang benturan yang menyebabkan pendarahan serius di selaput otak belakang akan sulit diselamatkan, sekalipun bisa sangat meragukan untuk normal kembali. Keputusannya harus dioperasi yang memakan biaya tidak sedikit, sementara orang tuaku tidak punya uang dan hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhan.” Jelas Tasya dengan suara bergetar lirih.
          “Kamu sehat sekarang kan, aku sangat bersyukur.”
          “Seperti yang kamu lihat, aku tidak apa-apa.” Kata Anata sambil tangannya melepaskan pelukanku dan menatap ke arah mataku. Lalu kami saling menatap disaksikan oleh teman-temanku lainnya.
           “Ya aku percaya, yang pasti aku senang kamu berada lagi di tengah kami.” Kataku sambil mengingat-ingat kembali tulisan Anata yang sempat kubaca dalam buku hariannya yang tertinggal.
          Sambil menggandeng Anata, aku diiringi teman-temanku berjalan pulang. Dibelakangku orang tua Anata terlihat tersenyum bahagia. Kehidupan adalah keajaiban yang kita miliki. Itulah tulisan tangan yang tertera tebal di buku hariannya. Dan mungkin itu pulalah yang dijadikan prinsip Anata dalam menjalani kehidupannya, sehingga apa yang dialaminya dianggapnya sebagai sebuah kebaikan yang datangnya dari Tuhan. Tidak menutup kemungkinan, kelapangan dan kepasrahan Anata akan ketentuan Tuhan merupakan tarikan energi yang menghadirkan cahaya ilahi untuk sebuah kekuatan dalam meghadapi segala hal. Bisa jadi kekuatan itu menuntunnya ke arah sesuatu yang menjadikannya mampu bertahan bahkan bangkit dari kesulitan. Akan selalu kuingat tulisan itu, tulisan tangan Anata yang sangat berarti dalam kehidupan ini. Sebuah pelajaran yang teramat berharga, dan aku akan selalu berusaha memahami dan memaknainya. (Zamid al Zihar : Menyunting dari tulisan asli Jingga Antartika, Pelajar Kls VIII  SMPN Mangunreja, Tasikmalaya).