Sabtu, 10 Desember 2011

Orang Kaya VS Orang Miskin

Oleh : Zamid al Zihar


   Orang miskin atau orang yang keadaan ekonominya boleh dibilang kurang beruntung, kenyataan dalam kehidupannya begitu menyedihkan, jangankan pemenuhan kebutuhan sandang, untuk kebutuhan pangan atau untuk bisa makanpun mereka harus berjibaku dengan berbagai kesulitan. Dengan keterbatasan ilmu atau pendidikan yang dimilikinya, mereka berupaya mempertahankan hidupnya di antaranya menjadi buruh kecil, kuli atau pembantu rumah tangga. Tidak sedikit juga yang memilih jalan mengandalkan belas kasihan orang lain dengan cara meminta-minta baik di jalanan ataupun dari rumah ke rumah. Bahkan yang paling memprihatinkan mungkin atas dasar tuntutan penghidupan serta kurangnya pendidikan akhlak, tidak sedikit di antara mereka yang terjerumus kepada kejahatan. Itulah kerasnya perjuangan kehidupan mereka, tidak terpikirkan harus punya rumah, tidak terpikirkan harus punya pakaian layak, yang terpikir oleh mereka hanyalah bagaimana bisa memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya.

   Namun demikian adakalanya orang-orang kaya tidak adil dalam sikap dan cara pandang terhadap keberadaan orang-orang miskin. Banyak orang kaya yang memandang rendah dan hina terhadap mereka, dan tidak sedikit juga yang melecehkan harga dirinya semisal penganiayaan-penganiayaan baik secara fisik maupun psikis, terlebih lagi kepada mereka yang melakukan kejahatan. Orang-orang miskin acap kali menjadi kambing hitam dalam segala hal keburukan. Ada yang mengatakannya sebagai perusak pemandangan karena banyaknya yang terlunta-lunta ataupun yang meminta-minta di areal perkotaan terlebih kekumuhan karena rumah-rumah kardus yang mereka bangun di sembarang lokasi, dan ada juga yang mengatakannya sebagai sampah masyarakat karena perbuatan buruknya yang acap kali mereka lakukan. Seperti contohnya terhadap kasus pencurian sepotong rel kereta yang tentunya merugikan dan membahayakan banyak orang, orang kaya banyak yang kesal dan geram lantas mencaci maki dengan perkataan “Dasar tidak punya moral dan hatinya sudah tertutup!” Ada juga yang menyerukan, “Janganlah menyalahkan kemiskinan hingga bisanya menghalalkan segala cara, tidakkah bisa mencari pekerjaan yang lebih halal!”, dan banyak lagi perkataan-perkataan lainnya yang sifatnya menghujat. Kejahatan memang perbuatan yang dibenci oleh Allah, akan tetapi pantaskah orang kaya mencaci maki seperti itu?

   Padahal kalau mau jujur begitu banyak orang-orang kaya yang melakukan kejahatan, katakan para koruptor yang justru merugikan negara dan dampaknya sangat berpengaruh kepada tingkat kesejahteraan masyarakat secara global di negeri ini. Maaf, mungkinkah mereka menjadi kaya karena hasil korupsi? Bisa-bisa karena ulahnya para koruptor yang menjamur tanpa mengenal musim, menyebabkan masalah kemiskinan di negeri tercinta ini sulit tertanggulangi. Itulah barangkali kejahatan yang sebenar-benarnya. Bentuk ketidak adilan lainnya sering terjadi dalam hukum peradilan, di mana orang-orang miskin yang melakukan kejahatan senilai tidak lebih dari ratusan ribu rupiah harus mendekam di sel berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi apa yang terjadi terhadap penjahat kakap sekelas Gayus dengan nilai kejahatannya puluhan milyar rupiah? Jika saja menghitung sanksi secara matematis atas nilai kejahatan seseorang, lalu kita mencoba membandingkan kenyataan sanksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan dengan nilai tidak seberapa, maka akan sulit dibayangkan berapa lama seharusnya seorang seperti Gayus diganjar. Begitu kusamnya peradilan bagi orang-orang miskin, belum lagi perlakuan buruk yang dideritanya. Begitu indahnya peradilan bagi orang-orang kaya, belum lagi perlakuan manis yang diterimanya.

   Tidak sepenuhnya benar kalau ada yang mengatakan bahwa kebodohanlah yang mengakibatkan kebanyakan orang menjadi miskin, padahal bisa sebaliknya karena factor kemiskinanlah yang membuat mereka bodoh. Mari sejenak berdialog dengan hati terdalam. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa begitu sulitnya orang-orang miskin untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya? Pernah jugakah terpikirkan bahwa dampak dari kemiskinannya mereka menjadi bodoh karena tentunya disebabkan oleh keterbatasan pemahaman serta kemampuannya untuk memperoleh pendidikan? Pernahkah kita mencoba melepaskan dan membiarkan hati serta perasaan kita untuk mengembara jauh ke posisi seolah-olah sebagai orang miskin? Kalaupun pernah, kemungkinannya hanya sebatas membayangkan permukaannya saja tanpa menyentuh kepada hakikat yang sesungguhnya. Renungkan, seandainya sedikit saja kita mencoba menyatu dalam perasaan dan penderitaannya, maka ada kemungkinan cara pandang kita terhadap mereka akan lebih bijaksana. Lantas terhadap adanya kondisi seperti ini, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab? Atau tetapkah membiarkan mereka karena beranggapan bahwa kebodohanlah yang menjadikan mereka miskin?

Pandangan Kebanyakan Orang kaya.

   Terhadap dirinya sendiri kebanyakan orang kaya memandangnya sebagai orang-orang yang sukses. Mereka merasa bahwa kesuksesannya itu lebih dikarenakan hasil dari kepandaiannya serta hasil dari usaha kerasnya. Dengan bangga pula mereka berpikiran bahwa kemudahan-kemudahan dalam mendapatkan kekayaannya entah itu dari jalan baik atau tidak baik adalah semata anugrah dari Allah. Mungkin semua itu benar adanya, akan tetapi dalam kenyataannya terkadang mereka lupa mensyukuri. Keduniaan dinikmatinya begitu khusyu tanpa memperdulikan keadaan orang lain. Kekayaan dianggapnya sebagai label atas kesuksesannya, sehingga dalam membelanjakannya lebih kepada kesenangan diri sendiri. Membagi kesenangan dilakukannya juga terhadap generasi (anak-anak)nya dengan cara membiarkan mereka menjadi tuan-tuan kecil dalam pergaulannya yang sarat akan warna warni keduniaan. Gemerlap dunia seolah kekuasaannya di mana orang lain seolah tidak mempunyai hak untuk menikmatinya. Barangkali itupun benar, karena orang miskin dipastikan tidak akan mampu menikmatinya walaupun hanya sekedar dalam sebuah bayangan.  

   Terhadap orang miskin tidak sedikit orang kaya berpandangan bahwa kemiskinannya karena atas kebodohannya. Mereka dianggapnya sebagai orang yang malas bekerja dan malas berusaha, terlebih terhadap mereka peminta-minta di jalanan yang seolah hanya mengandalkan belas kasihan orang lain. Mungkin saja anggapan itu ada benarnya, akan tetapi kenyataannya banyak orang miskin yang kesulitan mendapatkan pekerjaan layak karena terganjal oleh rendahnya pendidikan yang mereka miliki. Terkadang orang-orang kaya tidak menyadari bahwa cara pandang orang miskin terhadap masa depan yang notaben mereka bodoh berbeda dengan kebanyakan orang pandai. Mereka (orang miskin) hanya mampu berpikir sebatas bagaimana untuk bisa mengisi periuk nasinya, sehingga meskipun disediakan pendidikan gratis tetapi kebanyakan mereka lebih menekankan kepada generasinya untuk fokus kepada mencari uang. Adapun orang-orang kaya yang terketuk hatinya, mereka membagikan sebagian hartanya kepada orang-orang miskin, namun sepertinya tidak syah kalau tidak ditonton oleh banyak orang seperti yang kita lihat di layar kaca, itupun kenyataannya bukanlah kebaikan yang didapatkan malah justru sebaliknya tidak sedikit orang-orang miskin yang mengalami penderitaan dalam antrian panjang.

   Terhadap masa depan, orang-orang kaya pada umumnya lebih fokus memikirkannya, sehingga kerap mengaplikasikan kekayaannya kepada hal-hal yang akan menunjang kemudahan dalam mencapai tujuannya. Seperti pada kenyataannya mereka lebih giat menumpuk harta kekayaan, berinvestasi dalam suatu usaha, menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang lebih tinggi dan lain sebagainya. Positif memang, namun kebanyakan mereka melupakan pendidikan ahlaki yang justru akan membangun kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki.

Pandangan Kebanyakan Orang Miskin

   Terhadap dirinya sendiri kebanyakan orang miskin memandang keberadaannya sebagai orang yang bernasib kurang baik. Mereka merasa bahwa untuk merubah hidupnya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tidak ada yang bisa dibanggakan selain perjuangannya yang keras. Akan tetapi atas tekanan penderitaannya terkadang menjadikan hati mereka buta dan pandangan mereka gelap, sehingga tidak sedikit yang mencari peruntungan dengan jalan tidak baik. Barangkali karena kurangnya pendidikan terlebih pemahaman agama membuat mereka tidak menyadari bahwa kemiskinannya adalah merupakan kehendak-Nya yang sesungguhnya juga patutlah disyukuri.  
  
   Terhadap orang kaya kebanyakan mereka menaruh rasa sungkan dan segan. Entah karena arogansi orang-orang kaya, sehingga banyak orang-orang miskin yang berperilaku begitu tunduk dan mengekspresikan sikap hormatnya dengan cara berlebihan. Apalagi terhadap orang-orang kaya yang berlaku sebagai majikannya, sepertinya mereka begitu takut dan mengagungkannya seakan keagungannya melebihi Tuhan. Terlepas dari hal tersebut, adakalanya  penyakit hati membelokan pandangan lurus orang miskin, sehingga tidak sedikit mereka yang berpikiran negatif dan menebar su’udhon terhadap mereka yang kaya, semisal mengatakan bahwa kekayaannya didapat dari hasil tidak halal ataupun hasil perbuatan syirik dan lain sebagainya.

 Terhadap masa depan, pada umumnya orang-orang miskin tidak sempat memikirkannya. Mereka lebih kepada memikirkan bagaimana bisa makan hari ini, esok dan lusa. Bagi mereka sepertinya yang dikatakan masa depan itu adalah besok dan lusa, bukan lima tahun atau sepuluh tahun yang akan datang, sehingga kebanyakan mereka mengabaikan pendidikan generasinya yang justru paling tidak akan membantu kepada pencapaian kehidupan yang layak. Tidak bisa disalahkan juga, mungkin karena selain keterbatasan pemahaman juga keterbatasan biaya, sehingga mereka tidak mampu berbuat banyak. Adapun pada kenyataannya program pendidikan gratis yang disodorkan pemerintah pada umumnya hanyalah sebatas gratis terhadap SPP bulanan saja, tidak untuk pakaian seragam ataupun lain-lainnya. Seberapapun besarnya biaya, bagi orang-orang miskin dirasakannya begitu memberatkan.

Kaya dan Miskin Adalah Sunatullah.

   Dalam konteks ini tentu ada hukum keseimbangan yang diciptakan sedemikian rupa oleh Allah SWT.  Berpasang-pasangan adalah Sunatullah. Ada baik dan buruk, sebab dan akibat, siang dan malam, laki-laki dan perempuan, orang kaya dan orang miskin, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu merupakan ketentuan-Nya dalam pengaturan keseimbangan terhadap bergulirnya roda kehidupan manusia yang begitu sempurna. Mari kita bayangkan, andai saja di dunia ini dihuni oleh orang kaya semua atau sebaliknya orang miskin semua, maka apa yang akan terjadi. Dalam hal keberadaan orang kaya dan orang miskin tentunya sudah diatur oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an :

”dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan dan menyempitkan rejeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman.” (Az Zumar, QS 39:52)

   Menyimak kandungan ayat tersebut, maka jelas bahwa besarnya rejeki seseorang telah diatur oleh Allah SWT dan satu sama lainnya tentunya akan berbeda, artinya adanya orang kaya atas sebab Allah melapangkan rejekinya dan adanya orang miskin atas sebab kehendak-Nya juga menyempitkan rejekinya. Oleh karena itu, hendaknya orang-orang miskin atau orang-orang yang disempitkan rezekinya senantiasa melapangkan hati dengan mensyukukuri apapun keadaan yang diberikan-Nya serta menjauhi prasangka negatif terlebih su’udhon kepada orang-orang yang dilebihkan rezekinya. Begitu juga orang-orang kaya atau orang-orang yang dilebihkan rezekinya, seharusnyalah berlaku bijaksana dan mensyukuri apa yang didapatkannya dengan cara berbagi kepada orang-orang miskin, karena tentunya semua itu sudah merupakan keputusan Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an :

”Maka (sebagai sikap rasa bersyukur) berikanlah kepada kerabatmu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; pemberian yang demikian adalah baik bagi orang-orang yang bertujuan memperoleh keridhaan Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ar-Ruum, QS 30 : 38).

Bahkan dalam ayat lain dikatakan bahwa belum sempurna kebaikan seseorang apabila belum melaksanakan apa yang disyariatkan-Nya yakni menafkahkan sebagian harta yang dicintainya kepada kaum fakir miskin, sebagaimana firman-Nya :

”kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ’Imran, QS 3 : 92).

Kaya Dan Miskin Adalah Ujian

   Pandangan orang kaya terhadap orang miskin dan sebaliknya pandangan orang miskin terhadap orang kaya terkadang menjadi sebuah friksi perilaku sosial yang sulit disatukan, sehingga menyebabkan terbentuknya sebuah jurang pemisah yang begitu lebar. Orang-orang kaya ingin dihormati sementara orang-orang miskin inginnya dihargai, lalu timbul sebuah resistensi dalam hal adab dan etika pergaulan. Pada akhirnya orang-orang kaya enggan untuk menyatukan diri dengan orang-orang miskin, begitupun sebaliknya orang-orang miskin merasa segan untuk melibatkan diri ke dalam pergaulannya dengan orang-orang kaya. Ibarat minyak dalam air, bersama tapi tidak bersatu. Itulah kenyataan sosial yang sepertinya sudah membudaya dan mewarnai kehidupan manusia. Sudah barang tentu kondisi tersebut sangatlah bertentangan dengan ajaran Islam, di mana seharusnya manusia bersatu dalam kebersamaan mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :

”dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara;” (Ali’Imran, QS 3 : 103)
  
   Keberadaan manusia baik kaya ataupun miskin, ningrat atau orang kebanyakan, sehat atau cacat dan apapun keadaannya di hadapan Allah SWT adalah sama statusnya. Derajat manusia yang terangkat ke hadapan Allah SWT sesungguhnya hanyalah manusia yang beriman dan bertakwa serta senantiasa bersyukur. Sedangkan derajat manusia atau status sosial dalam hubungannya dengan kehidupan di dunia adalah semata merupakan ujian dari Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an :

”dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu) berkata: ’Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman): ’Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?’ ” (Al-An’am, QS 6 : 53).

”dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’am, QS 6 : 165).

   Dengan demikian apapun keberadaan seseorang adalah merupakan ketetapan-Nya yang wajib disyukuri. Kaya dan miskin adalah amanah yang dicobakan atau diujikan kepada manusia, dalam hal ini manusia dituntut untuk mampu membawa dan menjalankannya. Peraturan-Nya, bagi orang-orang kaya harus perduli serta membuka hati seluas-luasnya terhadap orang-orang miskin dengan cara ikhlas membagi kekayaannya, sebagaimana firman Allah SWT :

”Maka (sebagai sikap rasa bersyukur) berikanlah kepada kerabatmu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; pemberian yang demikian adalah baik bagi orang-orang yang bertujuan memperoleh keridhaan Allah, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ar-Ruum, QS 30 : 38).

Sementara bagi orang-orang miskin harus bisa menerima dengan ikhlas, sabar dan tawakal terhadap penderitaannya. Seseorang menjadi miskin juga bisa terjadi karena dosa atas pelanggaran Peraturan-Nya, sehingga Allah menarik seluruh harta kekayaannya. Bagi orang beriman hal ini tidaklah berarti sesuatu yang buruk, karena semuanya itu merupakan cobaan atas kasih sayang Allah SWT kepada umat-Nya. Sebagaimana Rasulullah bersabda :

”Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik, maka ia diberinya cobaan.” (HR. Bukhari).

”Seorang muslim yang tertimpa penderitaan, kegundahan, kesedihan, kesakitan, gangguan dan kerisauan sehingga terkena duri, semuanya itu merupakan kafarat (penebus) dari dosa-dosanya.” (HR. Bukhari-Muslim).

 Sebuah kepastian, Allah SWT tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Seberat apapun cobaan yang dianugerahkan kepada umat-Nya, tentu Allah SWT tidak akan pernah membiarkannya terhanyut dalam kesulitan yang nyata. Kuncinya adalah beriman dan bertakwa, sebagaimana firman-Nya :

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Al-Baqarah, QS 2 : 286).

”....Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq, QS 65 : 2-3).   

   Di negeri ini cukup banyak jumlah orang-orang yang dikategorikan miskin. Terlepas dari akurasinya, tahun 2008 pemerintah mencatat jumlahnya hampir 15 % dari jumlah penduduk secara keseluruhan atau sekitar 32,38 juta orang. Sebuah kemungkinan, mengacu kepada banyaknya bencana alam antara tahun 2009 hingga tahun 2010, maka saat ini jumlah orang miskin bisa bergeser menjadi 15 % atau lebih. Katakanlah 15 %, maka perbandingannya antara yang mapan dengan yang miskin angkanya cukup spektakuler yakni 85:15. Jika saja manusia dalam mengarungi kehidupannya berpedoman kepada Peraturan Allah SWT, maka tidak mustahil masalah kemiskinan di negeri ini bisa tertanggulangi. Itu memang sebuah teori, akan tetapi Peraturan Allah adalah sebenar-benarnya peraturan yang apabila dijalankan akan nyata kebaikannya. Mungkinkah kita bisa melakukan hal yang demikian? Tidak dapat dipastikan, karena terhadap sejumlah bantuan yang adapun dari pemerintah, kenyataannya tidak sampai seutuhnya ke tangan orang-orang yang berhak menerimanya. Itulah pemandangan kehidupan yang ada saat ini. Sebuah indikasi penyimpangan moral manusia di mana hati dan perasaan sepertinya sudah tertutup, sehingga sudah sebegitu jauhnya penganiayaan terhadap orang-orang miskin.

   Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika kita mengharapkan perubahan pandangan orang kaya dan orang miskin, di mana yang bengkok akan menjadi lurus dan yang terjal akan menjadi mulus. Terlepas dari mampu atau tidak melakukannya, mari kita berteori, ”Jika ada keinginan untuk berbuat suatu kebajikan, maka lakukanlah sekarang. Jika ada keinginan untuk  berbuat sesuatu yang keji, maka tunggulah sampai besok.” Akhirnya semoga kesadaran akan datang memenuhi relung hati kita, sebab janji Allah pasti datang dan benar.******

Sesungguhnya Tidak Ada Krisis Ekonomi



Oleh : Zamid al Zihar

   Sudah menjadi sifat manusia kalau selalu tidak merasa puas terhadap sesuatu yang didapatkannya. Mengejar apa yang diinginkan seolah menjadi suatu kewajiban yang harus terealisir. Barangkali hal ini positif bila yang dimaksud menginginkan sebuah ilmu, akan tetapi lain halnya apabila yang dikejar sejumlah harta kekayaan. Berkeinginan lebih dari yang lain dan ingin dipandang terhormat adalah suatu keniscayaan yang senantiasa melekat dalam jiwa manusia. Itulah sebabnya, mengapa seringkali terjadi gejolak social, penyelewangan serta penyimpangan-penyimpangan terhadap segala hal. Kadang manusia tidak menyadari bahwa Yang Maha Kuasa memberikan sesuatu dengan ukuran yang telah ditentukan dengan perhitungan yang begitu sempurna.

   Allah SWT menciptakan segala sesuatunya penuh keseimbangan. Alam semesta yang mencakup langit dan bumi serta segala apa yang menghiasi di dalamnya menempati posisi yang tepat sesuai ukurannya. Begitu juga rezeki yang di anugrahkan tentunya diatur dengan porsi-porsi tertentu. Seandainya saja manusia tidak mengingkarinya, maka kesempurnaan kehidupan akan bisa dirasakan. Dalam surah Az Zuhruf (QS 43:32) Allah berfirman :

“Apakah mereka yang membagi-bagi Rahmat Tuhan-mu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan (bantuan dari) sebagian yang lain. Dan Rahmat Tuhan-mu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az Zuhruf, QS 43:32)

   Dunia kemanusiaan saat ini berada pada tatanan kehidupan modern dengan teknologi yang serba canggih. Hampir semua pekerjaan dilakukan oleh mesin hasil perkembangan teknologi. Berbagai ilmu pengetahuan dengan segala rumusannya yang mengarah kepada perhitungan duniawi nyaris tidak diragukan lagi ketepatannya. Penelitian dan analisa terhadap upaya pengembangan ilmu terus dilakukan manusia, bahkan mungkin tidak akan pernah berakhir. Alhasil manusia meraih kemudahan-kemudahan dalam melakukan segala sesuatunya demi kepentingan duniawi. Namun semakin maju peradaban manusia, semakin banyak yang menyimpang dari ketentuan. Semakin tinggi ilmu pengetahuan, semakin memacu waktu untuk menjadi yang terbaik tanpa dibarengi oleh pemahaman spiritual. Sehingga penyelewengan akidah terjadi dimana-mana dan konsekwensinya porsi kepentingan umum bergeser menjadi kepentingan pribadi. Bisa dibenarkan apa yang dikatakan oleh filosof Spanyol Jose Ortega Y.Gosset bahwa dunia modern adalah dunia biadab.

   Ada sebuah kata mutiara : God doesn’t ask for you to be the best, only to do your best. Sesungguhnya Tuhan tidak meminta seseorang untuk menjadi yang terbaik, akan tetapi untuk melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Pepatah yang baik, tentunya untuk memotifasi perilaku kehidupan seseorang agar menjadi yang terbaik. Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya dapat dimaknai sebagai sesuatu yang akan menghasilkan  keseimbangan di dalam mempresentasikan hak dan kewajiban. Dalam kenyataannya, perilaku manusia selalu menonjolkan yang hak ketimbang yang wajib, hingga hukum yang berlakupun lebih kepada mementingkan hak dan tidak menghiraukan kewajiban. Kehidupan manusia lebih didominasi oleh nafsu, sehingga akhirnya merusak tatanan kehidupan yang hakiki yakni kehidupan sesuai porsi yang diberikan Allah SWT. Dampak yang ditimbulkan dari keadaan seperti tiu adalah adanya kesulitan-kesulitan dalam segala bidang, ketakutan, kelaparan dan penderitaan pada sebagian masyarakat yang seolah tiada berakhir. Itulah barangkali yang dikatakan krisis ekonomi. Allah SWT berfirman :

”Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari Nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah rasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan lantaran apa-apa yang mereka kerjakan itu.” (An-Nahl, QS 16:112).

   Adanya akibat tentunya dari adanya sebab. Krisis ekonomi hanyalah sebuah akibat dari perilaku kehidupan manusia yang selalu memanjakan nafsu dan semakin menjauhkan dari mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah SWT. Sebutan krisis ekonomi tidak lebih dari upaya mengkambing hitamkan atas kegagalan dalam mempresentasikan ilmu yang dimiliki. Pemanfaatan ilmu yang tidak disinergikan dengan nilai-nilai ketuhanan bukan saja akan berpengaruh buruk kepada kehidupan sosial, akan tetapi berpengaruh juga kepada nilai amal perbuatan yang harus diperpertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :

”Barang siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan yang seharusnya ditujukan hanya untuk mencari ridha Allah ’Azza Wa Jalla, kemudian ia tidak mempelajarinya untuk mencari ridha Allah bahkan hanya untuk mendapatkan kedudukan / kekayaan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya sorga nanti pada hari Qiamat.” (Riwayat Abu Daud).

   Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa dunia modern penuh kesesatan. Moral manusia dipertaruhkan hanya untuk mendapatkan predikat yang terbaik dari segi status sosial. Nilai-nilai agama yang terkandung dalam Al-Qur’an seolah tidak lagi menjadi pedoman dalam setiap melakukan perbuatan, sehingga akalpun dalam pemanfaatannya berubah menjadi akal-akalan. Padahal Allah ’Azza Wa Jalla memerintahkan kepada manusia agar mempelajari Al-Qur’an sampai benar-benar paham supaya dapat memberi peringatan kepada orang-orang yang mempunyai akal, sebagaimana firman-NYA :

”Ini adalah sebuah kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (mempelajari) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai akal.” (Shad, QS 38:29).

   Mengutip analisis filosofisnya Schumacher yang ditulis oleh Drs. H. Syahminan Zaini dalam buku khutbahnya, bahwa atas analisa yang dilakukannya terhadap sebab terjadinya krisis ekonomi di dunia, maka kesimpulannya : ”Dunia kemanusiaan tidak pernah mengalami krisis ekonomi, karena setiap krisis pada hakikatnya merupakan krisis moral.”
Seperti itulah barangkali adanya, dan mari kita lebih menyadari serta instrospeksi diri atas segala apa yang telah kita lakukan.  

****************