Selasa, 21 Oktober 2014

RAKSASA MEDIA



Oleh : Galuh Ratnatika

Sejauh mana pemahaman kita terhadap media? Bagaimana kita menanggapi media itu sendiri? Apa yang ada dalam pikiran kita, ketika melihat tayangan di televisi? Mengapa media sangat berpengaruh bagi masyarakat? banyak pertanyaan yang akan muncul ketika kita berbicara mengenai literasi media, atau pemahaman mendalam mengenai media, khususnya mengenai berbagai tayangan visual yang disajikan di televisi, yang ada di Indonesia. 

Benarkah media telah melakukan hegemoni terhadap masyarakat?

Hegemoni dapat disebut juga sebagai penjajahan yang tidak disadari. Banyak masyarakat Indonesia yang tidak menyadari bahwa sang Raksasa, atau media telah mengkonstruksi pola pikir mereka, melalui gambar visual yang disajikan semenarik mungkin. Mulai dari tayangan hiburan, iklan, bahkan pemberitaan yang kerap kali muncul di layar kaca dengan desain visual dan isi yang di setting sedemikian rupa.
Masyarakat yang tidak tahu apa-apa dengan mudah mengkonsumsi dan menyerap tayangan-tayangan tersebut tanpa adanya penyaringan. Meskipun tayangan tersebut sama sekali tidak berbobot. Bahkan kita tahu, terdapat banyak tayangan hiburan yang tidak memiliki nilai edukatif, yang targetnya adalah masyarakat menengah ke bawah. Seperti salah satu tayangan variasi show, yang membloking prime time, yang hanya menyajikan komedi-komedi kasar dengan gambaran kekerasan terhadap sesama komedian. Serta membagi-bagikan uang kepada masyarakat kecil dengan terlebih dahulu mempermalukan mereka di depan banyak masyarakat Indonesia yang menyaksikan acara tersebut. Seolah sang Raksasa lah yang berkuasa.
Pantaskah anak-anak di bawah umur melihat tayangan tersebut? Yang mungkin saja kekerasan itu dapat dilakukan terhadap temannya, dan berpikir bahwa hal itu adalah lucu. Pantaskah kita tertawa melihat mereka, rakyat kecil, dipermalukan hanya untuk selembar uang? Tidak seharusnya hal seperti itu dipertontonkan kepada masyarakat, khususnya anak-anak di bawah umur.
Tidak hanya variasi show, sinetron juga menjadi salah satu bentuk hiburan, yang lebih mengedepankan rating, dibanding pendidikan dan nilai moralnya. Banyak sinetron yang berlomba-lomba untuk menarik perhatian masyarakat, dengan alur cerita yang Islami. Sebuah gambaran tentang budaya dan ajaran Islam yang terlihat baik di mata masyarakat. menggunakan soundtrack dengan lagu Islam, memperlihatkan gadis-gadis dan wanita-wanita muslim dengan hijabnya. Menyajikan ustadz sebagai salah satu tokoh agama. Serta memperbanyak episode hingga ratusan.
Benarkah sebaik itu sinetron Islam yang ditayangkan? Saya pribadi mengatakan tidak. Mengapa? Sinetron bergenre religi yang kerap ditayangkan di televisi, hanya menggambarkan nilai Islam dari kulitnya saja. Cara berpakaian, kerap kali menunjukkan jenjang sosial. Dimana Si kaya menggunakan hijab yang berlapis-lapis, bermerk, dan terlihat sangat anggun. Dan Si miskin, hanya mengenakan hijab yang terlihat sangat biasa. Tentunya, setiap wanita yang melihat hal ini, akan mengikuti trend hijab Si kaya yang terlihat anggun. Apakah Islam mengajarkan seperti itu? Anda sendiri yang dapat menilainya. Lalu  bagaimana dengan jalan ceritanya? Pada dasarnya, sama dengan sinetron pada umumnya, ada Si antagonis dan ada Si protagonis. Bahkan alurnya pun terkesan monoton. Hanya ditambahkan unsur-unsur Islam di dalamnya.
Selanjutnya adalah iklan, yang menjadi makanan sehari-hari masyarakat dan dikonsumsi sebagai kebutuhan. Tentunya, iklan sangat berpengaruh besar dalam mengkonstruksi pola pikir masyarakat. benarkah iklan seperti itu adanya? Mungkin orang-orang periklanan lebih mengetahui, bagaimana iklan dapat dengan mudah menghegemoni masyarakat. Iklan membuat berbagai konstruksi, salah satunya adalah konstruksi gender, yang lebih menonjol dan menghantui para remaja khusunya. Contohnya, produk pemutih, penghitam rambut, pelangsing tubuh, produk pembentuk otot pria, peninggi badan dan sebagainya.
Dalam hal ini, iklan seolah mendoktrin masyarakat, bahwa feminitas dan maskulinitas yang sesungguhnya adalah seperti yang digambarkan dalam tayangan visual yang hanya berdurasi beberapa detik saja. Para remaja berburu produk-produk tersebut, hanya untuk membuktikan khasiatnya. Putih, tinggi, langsing atau berotot (untuk laki-laki), rambut panjang yang berkilau, adalah gambaran media terhadap sosok wanita cantik dan sosok pria tampan.
Bagaimana dengan masyarakat yang melihat tayangan tersebut? Berusaha memutihkan kulit, meninggikan badan, diet dan sebagainya, hanya untuk menjadi sosok sempurna yang digambarkan media. Pada kenyataan, cantik atau tampan tidak dapat digambarkan seperti itu. Bahkan sering kita lihat juga, iklan yang menjual Islam untuk mempromosikan produknya. Apa yang dijual? Lebih sering kita melihat, hijab lah yang dijual iklan tersebut, untuk mengikuti budaya pop di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Islam diperjualbelikan hanya untuk sebuah produk?
Beralih dari tayangan hiburan dan iklan, tayangan pemberitaan pun tidak luput dari skenario Sang Raksasa Media. Ketika media telah dikuasai sepenuhnya oleh Sang Raksasa, maka tidak ada lagi ideologi jurnalisme yang mengedepankan informasi aktual untuk kepentingan umum, tetapi lebih kepada kepentingan pribadi Sang Raksasa. Benarkah begitu? Menurut saya, iya. Mengapa? Karena saat ini media tidak terlepas dari parodi politik yang dibuat oleh para aktor politik itu sendiri, yang dengan gagahnya berdiri di belakang media.
Terlalu banyak intervensi dari kaum kapitalis terhadap jurnalisme di Indonesia. Tidak seharusnya media massa memberikan informasi yang berupa kepentingan pribadi semata. Bahkan terkadang menjadi salah satu masalah, atau sumber pemecah belah bangsa, ketika kepentingan politik dicampur adukkan di dalamnya. Sungguh miris, melihat media yang seharusnya menjadi sumber informasi masyarakat berubah menjadi medan perang politik.  Hal ini pula yang menyebabkan media massa Indonesia tidak semaju media massa di luar.

Siapa itu Raksasa Media? 

            Pertanyaan yang kerap kali muncul ketika kita berbicara mengenai hegemoni yang dilakukan media. Raksasa media adalah sebutan untuk para penguasa media, atau para kaum kapitalis yang mengendalikan media itu sendiri. Jika muncul pertanyaan, seberapa kejam penjajahan oleh kaum kapitalis kepada masyarakat? maka saya akan menjawab, hampir sama kejamnya ketika bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa Eropa. Hanya saja penjajahan saat ini, tidak disadari oleh masyarakat.
            Kita, masyarakat yang tergantung terhadap media, dijadikan sebagai target operasi penyerangan ideologi mereka (para kaum kapitalis) dengan senjata televisi. Siapa sangka, bahwa masyarakat dapat dengan mudah dijajah, didoktrin, disuguhkan dengan tayangan yang terkesan manis namun kejam, dan kemudian diperas untuk mencari keuntungan semata.
            Seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Bahwa media saat ini lebih mengedepankan ratting yang tinggi dibanding mengedepankan pedidikan dan nilai moral. Benarkah begitu? Menurut saya, iya. Karena media saat ini benar-benar banal atau sama sekali tidak berbobot. Media juga kerap dijadikan sebagai bentuk pencitraan dan mesin kasir. Yang mana korbannya adalah masyarakat awam. Itu semua, tentunya untuk mengembalikan keuntungan mereka (para kaum kapitalis), orang-orang yang bersembunyi dibalik media.
            Lihatlah bagaimana semua pertelevisian swasta di Indonesia berdiri di bawah kekuasaan Raksasa Media, yang tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang yang juga terlibat dalam politik. Tentunya media dan politik sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, terlebih ketika mereka mendapatkan perhatian masyarakat yang tidak memahaminya.

Dan apa itu literasi media?

            Seperti yang sudah ditulis. Literasi media adalah suatu pemahaman mendalam mengenai media. Dimana masyarakat dituntut untuk mengetahui seluk beluk media yang ada di Indonesia, serta dapat mengkritisi media itu sendiri. Luar biasa bukan? Melihat media berkuasa dan melakukan hegemoni terhadap kita, masyarakat. Sedikitnya itu yang dapat saya sampaikan. Selebihnya tergantung bagaimana anda menilai media, dan menjadi penonton yang cerdas dan kritis. Cerdas dalam mengkonsumsi tayangan dan kritis dalam menilai.