Rabu, 17 September 2014

DI BALIK DIDING KEMEWAHAN



Oleh : Zamid al Zihar



    
Pict : rio-mamdoeh.blogspot.com
     Kesenjangan sosial di Indonesia yang kita cintai ini sepertinya sudah menunjukkan jarak yang semakin jauh. Dari permukaan kita bisa melihat wajah kehidupan yang begitu mewah, kehidupan yang terbingkai gemerlap keduniaan, kehidupan yang seolah tidak pernah mengenal kesulitan, kehidupan yang dengan segala penampilannya bergaya jetset. Namun jika melangkah lebih jauh menyingkap sisi permukaan lainnya, maka kita akan melihat pemandangan kehidupan yang begitu kontras perbedaannya, kehidupan yang mengharu biru, kehidupan yang jauh dari kelayakkan bahkan teramat memprihatinkan. Dua sisi keadaan kehidupan yang sangat bertolak belakang di mana orang-orang kaya dengan leluasa memanjakan haknya menghambur-hamburkan uang, sementara orang-orang miskin dengan nafas tersengal terpapah-papah mengais nafkah meski hanya untuk sesuap nasi saja.

   Potret kehidupan orang-orang yang jauh di bawah garis kemiskinan, sering kita lihat dalam tayangan beberapa media elektronik, diantaranya ada keluarga yang sudah bertahun-tahun mempertahankan kehidupannya dengan hanya mengkonsumsi gaplek, ada juga yang hidup di bawah naungan atap seadanya, anak-anak terlantar dan kelaparan, belum lagi kisah-kisah tragis lainnya seperti kisah sekeluarga yang bunuh diri karena putus asa menanggung derita, seorang bapak harus menginap di sel tahanan karena mencuri demi sesuap nasi untuk mengganjal perut keluarganya, ada juga orang-orang yang sekian lama terbebani oleh penyakitnya karena tidak mampu untuk berobat dan masih banyak lagi yang lainnya. Begitu juga banyak mengenai kemiskinan yang diangkat mas media, di antaranya Pikiran Rakyat (10/04/2011) melansir sebuah keluarga di Sukabumi yang sudah enam tahun menjalani kehidupannya di kandang kambing, ada lagi di Bandung Barat seorang nenek yang terpaksa makan kardus bekas karena tidak mampu membeli obat untuk mengatasi penyakitnya. Mengenaskannya lagi seperti yang dikutip media yang sama (17/02/2011), warga miskin dipersulit bahkan ditolak berobat oleh hampir semua Rumah Sakit. Benar-benar sebuah penistaan.

   Sejauh ini sepertinya keadaan tersebut tidak tertuang dalam catatan atau laporan resmi para penguasa negeri ini, melainkan hanya merangkum sebatas sisi kehidupan yang baik-baiknya saja. Bisa dimaklumi karena hal ini sangat berpengaruh kepada prestasi kinerja mereka yang apabila mencantumkan kenyataan yang ada tentunya akan menunjukkan bentuk ketidak-berhasilan. Dalam pemandangannya secara umum selalu menampakkan kemajuan yang baik, berkamuflase dengan seolah meraih keberhasilan dalam segala bidang terutama mengentaskan kemiskinan. Memang memimpin tidaklah semudah menulis teori, tapi paling tidak tertanam adanya sebuah kejujuran. Seperti pepatah mengatakan : to rule is easy, to govern is difficult. Berkuasa itu mudah, tetapi memimpin bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan orang banyak, tidak lantas menutupi keburukan hanya semata mencari kebaikan diri sendiri untuk tujuan meraih keduniaan. Itulah barangkali mengapa di negeri ini rentan kejahatan, rentan terhadap ketidakpuasan rakyatnya dengan mengaktualisasikannya secara radikal, sebab kenyataan yang ada para pemimpinnya lebih mementingkan diri sendiri serta merta bergelimang dengan kejahatan, sementara masalah yang parsial seperti kemiskinan terabaikan yang kesemuanya itu mengundang kejahatan. Benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan sepeninggalku adalah terbukanya lebar-lebar kemewahan dan keindahan dunia atas kamu sekalian.” (HR.Bukhari-Muslim).

   Andai saja Allah menawarkan dua pilihan kepada manusia yang bisa langsung diraih antara hidup bergelimang kekayaan dan hidup dengan kemiskinan, sudah bisa dipastikan siapapun tidak akan ada yang memilih kemiskinan. Namun sayangnya tidak demikian, karena sesungguhnya Allah telah menentukan takdir seseorang yang kita sendiri tidak mengetahuinya, bahkan terkadang banyak yang tidak pernah mau memahaminya. Allah menjadikan seseorang kaya atau miskin bukanlah berarti lepas begitu saja dengan segala kebebasan menentukan sendiri langkahnya, akan tetapi tentunya dibatasi oleh kewajiban yang apabila tidak dipatuhi maka akan ada perhitungannya kelak di akhir kehidupan. Kekayaan akan menghisab apabila tidak dipergunakannya di jalan Allah, begitu juga sebaliknya kemiskinan akan membelit apabila tidak dijalaninya dengan ketawakalan. Kaya dan miskin adalah keseimbangan kehidupan yang dibuat oleh Allah sedemikian rupa, di mana sesungguhnya di antara keduanya ada hubungan timbal balik yang saling melengkapi.

   Allah Yang Maha Agung tidaklah semata memerintahkan sesuatu kepada manusia dengan segala peraturan-Nya, melainkan adanya kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Dalam hal ini manusia diberikan mandat dan kepercayaan untuk mengelola bumi serta seisinya, sedangkan al-Qur’an sebagai undang-undangnya yang merupakan pedoman langkah manusia baik dalam hubungannya dengan Dia, dengan sesama manusia, maupun dengan alam semesta yang mencakup berbagai tumbuhan serta binatang. Adapun pengadilannya jika terjadi suatu pelanggaran adalah merupakan Kekuasaan-Nya kelak di tempat abadi. Demikian manusia yang diciptakan berkelompok, berbangsa-bangsa dan bernegara, dalam menjalankan kepercayaannya juga membuat undang-undang tersendiri, entah masalah syariat, politik, ekonomi maupun ketentuan lainnya ada di dalamnya.

   Namun sayangnya manusia begitu mempercai dan mengagungkan undang-undang yang telah dibuatnya, tanpa mengetahui kehidupan yang hakiki melainkan hanya lahiriyah saja dan lebih kepada keduniaan, sehingga dalam aktualisasinya banyak sekali ketidak adilan. Sebut saja di negeri ini, Indonesia yang kita cintai, moralitas para perangkat pengendali pemerintahan hampir semuanya tertutup kabut hitam yang tebal. Mereka berlomba untuk dapat memenuhi kepentingannya sendiri secara berlebihan, sementara melalaikan apa yang diperintahkan-Nya. Terhadap kepentingan orang lain misalnya, seakan hilang dari keperdulian. Adapun perduli sepertinya tidak lebih dari mengandalkan apa yang tersurat dalam undang-undang tersebut, dan kebanyakan tidak menyentuh kepada nurani, sebagaimana Allah berfirman :

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum, QS 30 : 7).
  
   Nu’man bin Basyir ra. berkata : “Umar bin Khaththab ra. menceritakan tentang keadaan orang-orang yang begitu getol mengumpulkan dunia (harta), kemudian menceritakan tentang Rasulullah SAW yang pernah lapar sehari penuh, tidak tersedia apa-apa untuk mengisi perutnya walaupun sebutir korma yang paling buruk.’” (HR.Muslim).

   Hadis tersebut menunjukkan keadaan terbalik, di mana seorang pemimpin besar seperti Rasulullah SAW kehidupannya begitu bersahaja jauh di bawah umatnya. Beliau lebih mementingkan kesejahteraan umatnya, dan untuk itu semua beliau rela hidup seadanya. Sebagai manusia biasa, mungkin kita tidak akan mampu seperti beliau, namun setidak-tidaknya kita bisa menteladaninya. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berzuhud dan berbuat baik, andaikan saja kita mau mengamalkannya, niscaya keseimbangan akan terjalin erat dengan ikatan yang saling menguntungkan, bahkan bisa jadi di negeri ini tidak akan ada lagi dinding kemewahan yang menutup dan membatasi perbedaan. Dengan kata lain orang-orang yang kehidupannya berlebih akan membuka hati dan senantiasa memperhatikan serta membantu memecahkan kesulitan orang-orang miskin, begitu juga sebaliknya orang-orang yang bernasib kurang baik tentunya akan senantiasa menghargai dan menghormati orang-orang yang bernasib baik. Lalu mungkinkah keadaan terbalik ini akan terjadi di negeri ini? Wallahu’alam bishahab. ***

Rabu, 10 September 2014

Menjaga Kerukunan Antar Agama



Oleh : Zamid al Zihar

  
Masyarakat di negara tercinta kita terdiri dari berbagai suku, berbagai tradisi dan berbagai keyakinan (agama). Menyebar di berbagai pulau yang terangkai dalam ikatan kesatuan. Ikrar kebersaman selalu menggema dalam membela hak tanah air. Gambaran persada dari sabang sampai merauke yang sarat akan gemerlap mutu manikam senantiasa menjadi lambang kemakmuran. Aman, nyaman dan tenteram, itulah realita Indonesia yang selalu menjadi kebanggaan dan menjadi perhatian masyarakat dunia. Suasananya begitu terasa dingin dan sejuk serta penuh kedamaian. Namun adakah keberadaan yang begitu indah tersebut masih kita rasakan seutuhnya saat ini?

   Bisa kita katakan kalau saat ini suhu atmosfir Indonesia terasa berbeda. Seiring pertumbuhan masyarakat dengan berbagai ideologi serta ilmu dan ”conceptual skill” yang semakin berkembang, maka terjadi adanya fluktuasi perubahan cuaca yang tidak menentu. Terkadang sejuk berubah panas atau sebaliknya. Gejolak sosial karena faktor suhu politik, ekonomi dan lain-lain sering terjadi bukan saja di pusat pemerintahan bahkan di berbagai wilayah. Itulah barangkali yang dinamakan proses reformasi. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa semua itu terjadi karena konsekwensi dari perubahan sistem. Ada juga yang menganggap bukan karena sistem, tetapi karena moralitas manusianya yang semakin keropos. Dan banyak lagi anggapan-anggapan lainnya yang berbeda-beda.

   Dinamika sosial yang terjadi dalam proses perubahan tatanan kepemerintahan mungkin bisa dikatakan lumrah adanya, akan tetapi hal yang sangat memprihatinkan bahkan merusak perdamaian serta menodai persatuan adalah munculnya karakter sosial yang menggeser tujuan dari kepentingan sosial secara umum menjadi kepentingan agama. Seperti yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah beberapa lama berselang adanya gesekan sosial antar komunitas agama bahkan secara fisik. Belum lama di Bekasi, saling menghina dan nyaris terjadi adu fisik. Di internet dalam situs-situs lokal tertentu sepertinya sudah bukan lagi dianggap hal tabu, tulisan saling menghujat dengan bahasa-bahasa yang tidak pantas. Dan banyak lagi kejadian-kejadian lainnya yang terselubung. Jelasnya pertikaian antar Islam dan Nasrani. (Saya sendiri pernah membaca tulisan seorang “oknum” penganut kristen yang di cetak oleh teman saya dari salah satu blog di internet, isinya penuh hujatan dan  penghinaan kepada islam yang begitu menyakitkan). Dalam hal ini islam selalu saja di cap sebagai pengacau, lebih-lebih jika dikaitkan dengan munculnya yang disebut “teroris”, karena tidak sedikit kalangan menganggap bahwa “teroris” identik islam.    

   Anggapan yang keliru, karena sesungguhnya islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam bukanlah agama yang radikal sebagaimana yang digambarkan oleh banyak orang dari kalangan berbeda. Islam lebih mengutamakan perdamaian, bahkan menganjurkan agar berbuat baik terhadap sesama manusia tanpa memandang golongan, kecuali kalau golongan dimaksud menghina dan memerangi islam. Sebagaimana Allah berfirman :

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Al-Mumtahanah, QS 60:8)

   Perbedaan keyakinan antar komunitas pada kehidupan manusia saat ini tidak lebih disebabkan karena masing-masing komunitas atau golongan berpijak dari rangkaian akar kehidupan sosial yang berbeda. Turun temurun para pendahulu yang mengakar seakan berlapis membuat keyakinan ajarannya semakin kuat menyelimuti setiap jiwa masing-masing golongan. Oleh karena itu tidaklah seharusnya saling hujat dan saling salah menyalahkan secara terbuka, bahkan saling mengklaim yang terbaik, karena tentunya masing-masing membawa pusakanya sendiri sebagai warisan para leluhurnya, sehingga masing-masing merasa berpendirian kepada sesuatu yang benar. Memang ini masalah agama, masalah keyakinan ketuhanan yang tentunya erat kaitannya dengan masalah keharusan menyampaikan suatu kebenaran, akan tetapi dilakukan dengan perbuatan dan perkataan yang baik tentunya akan lebih baik. Allah SWT tidak pernah mengajarkan bermusuhan, bahkan juga tidak pernah melarang umat-Nya berkawan dengan pihak manapun, kecuali dengan orang-orang yang memerangi agama-Nya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya :

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang........ Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”(Al-Mumtahanah, QS 60:7,9)

      Lalu bagaimana dengan “teroris” yang senantiasa dicap sebagai monsternya islam? Teroris bisa diartikan sebagai penyebar rasa takut atau rasa tidak nyaman. Teroris yang membawa bendera agama dengan mengatas-namakan jihad hanyalah perilaku segelintir orang atas pemahaman pembenaran ajaran dengan cara-cara yang keliru. Begitu banyak korban yang tidak berdosa akibat cara-cara seperti itu, belum lagi begitu besar nilai kerugian materil dari kerusakan fasilitas milik rakyat. Padahal islam adalah agama yang penuh toleransi dan sama sekali tidak pernah mengajarkan membunuh dan merusak. Simak firman Allah berikut :    

“dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas..........dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah, QS 2:190,193)

   Adanya perintah berperang karena adanya orang-orang yang memerangi agama Allah. Ketika jaman turunnya wahyu, banyak orang-orang kafir yahudi yang menghina, mengejek, menganiaya bahkan membunuh orang-orang islam. Padahal Rasulullah SAW sendiri dalam menyampaikan ajarannya senantiasa dengan tutur kata yang lembut, jauh dari kekerasan. Mereka memandang islam sebagai duri yang menghalangi kekuasaannya saat itu. Kehadiran islam seolah pembawa malapetaka, karena ternyata banyak dari kalangannya yang keluar dan mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Kekejaman orang-orang kafir terhadap pengikut ajaran Rasulullah SAW pada saat itu sudah melebihi batas dan tidak bisa ditolelir lagi. Itulah sebabnya Allah SWT melalui Rasul-Nya memerintahkan agar membela dan mempertahankan ekistensi agama-Nya dengan berperang melawan kezaliman kafirullah serta menghalalkan membunuh hingga orang-orang kafir yang zalim itu berhenti menebar permusuhan.

   Sifat permusuhan yahudi sepertinya sudah mengakar hingga saat ini seperti halnya yang terjadi di Palestina, seolah konflik yang tidak akan pernah berakhir. Perilaku yahudi yang berlebihan bahkan boleh dikatakan keterlaluan dan biadab seringkali dilakukannya, semisal penyerangan terhadap kapal pembawa misi kemanusiaan. Terhadap hal ini bukan saja islam, akan tetapi agama lainpun tentunya mengecam keras. Itulah barangkali yang seharusnya diperangi dan disanalah ladangnya jihad, bukannya di Indonesia yang jauh dari perilaku permusuhan. Dalam Al-Qur’anul Karim Allah berfirman :

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Al-Maidah, QS 5 : 82)

“dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. ...... “ (Ali Imran, QS 3 : 105)

   Dengan demikian tidaklah ada alasan untuk saling bermusuhan. Islam dengan Hari Raya Idul Fitrinya, Kristen dengan Natalnya, Budha dengan Waisaknya, Hindu dengan Menyepinya, Kong Hu Cu dengan Toapekongnya dan lain-lainnya adalah wujud dari keragaman keyakinan yang ada di Republik ini. Islam mempunyai cara tersendiri dalam berperilaku menghargai agama lain, begitupun sebaliknya. Adapun perilaku dalam cara-cara menghargai satu sama lain kemungkinannya ada yang berlawanan dengan ajaran masing-masing, tidaklah harus diembel-embeli oleh prasangka negatif. Biarkan berjalan pada relnya masing-masing tanpa harus saling bergesekan. Agamaku adalah untukku dan agamamu adalah untukmu. Tanamkan rasa persahabatan dan saling harga menghargai. Syiar kebenaran dan kebaikan tentunya bisa dilakukan dengan cara yang baik, bukan dengan cara menyulut api di antara ladang-ladang bensin yang hanya akan menebar panas di mana-mana. Bukankah kita menginginkan kedamaian, kenyamanan dan ketenteraman?

   Mari kita tengok lebih jauh ke dalam diri kita sendiri. Sudahkah kita berbuat kebaikan untuk diri sendiri dan untuk orang lain selama hidup ini? Sudahkah kita berakhlak baik sesuai dengan yang diisyaratkan oleh agama kita masing-masing? Mari kita renungkan, bahwa sesungguhnya kedamaian, kenyamanan dan ketenteraman berpangkal dari hati kita sendiri. Mari kita membuka hati lebar-lebar dan menjernihkan pikiran guna menyatukan visi dari sisi keyakinan yang berbeda, tentunya untuk kita dan untuk kedamaian negeri tercinta kita Indonesia.

      Kesalahan dan kekurangan hanyalah semata-mata milik manusia, kebenaran dan kesempurnaan tentunya milik Allah SWT. Maha Suci Allah yang menguasai seluruh jagad alam raya, yang memiliki kerajaan langit dan bumi, yang menetapkan segala kebaikan dan keburukan, semoga mencurahkan Rahmat dan Hidayah-Nya serta  menganugerahkan seberkas cahaya-Nya guna menerangi hati yang penuh kegelapan ini, sehingga akan menjadikan terang benderang. Amin.

JANGAN PUTUS ASA



Oleh : Zamid al Zihar

Adakalanya ketika musibah melanda, kehidupan buram menyapa, manis berganti pahit, terang bertukar gelap, kemudahan berubah kesulitan, atau juga ketika sekian lama berbaur dengan warna penderitaan yang seakan tidak pernah kunjung pudar, perasaan sedih akan hadir tanpa kompromi, menolak dan sulit untuk bisa menerima, bahkan timbul gejolak hati yang terombang ambing bagai gelombang badai menghempas harapan tanpa arah, sehingga pikiranpun tidak mampu lagi menjangkau hal yang positif. Pada situasi kenyataan seperti ini, mampukah bertahan? Tentulah tidak akan mampu selama hati dan pikiran terhanyut dan tenggelam ke dalam samudra kesedihan. Lantas bagaimana harus menyikapinya?

Dalam surah At-Thagaabun (QS 64:11) Allah berfirman :

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Menyimak ayat tersebut tentunya kita memahami, bahwa apapun yang terjadi terhadap kita ataupun sekitar kita adalah sudah merupakan kehendak dan keputusan Allah. Tentang adanya penderitaan atau musibah yang kita alami, bisa saja Allah tengah mencoba dan menguji kesabaran atau menegur atas perbuatan kita sendiri yang tentunya tidak dikehendaki oleh-Nya. Begitu juga terhadap orang yang seakan sejak lahir dilanda penderitaan, mungkin saja dikarenakan mereka tidak mengetahui harus bagaimana dan harus melakukan apa, sehingga Allah membiarkannya seperti itu. Terkadang tidak sedikit orang menyandarkan hal ini kepada takdir tanpa melakukan apapun, sehingga terlena dengan kesulitan yang berkepanjangan.

Dalam surah Al-Baqarah (QS 2:155-156) Allah berfirman :

dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"

Sabar dengan dilandasi hati ikhlas, itulah selayaknya yang harus kita lakukan manakala musibah atau cobaan datang menimpa kita. Allah maha mengetahui apa yang ada dalam hati, pikiran dan perbuatan kita. Kadang tidak pernah kita sadari berapa banyak keburukan yang telah kita perbuat, bahkan adakalanya kita berbangga hati dengan hanya sedikit saja telah melakukan kebaikan. Sudah barang tentu Allah maha bijaksana dan maha tahu apa yang harus ditimpakan-Nya kepada kita.
Saudaraku, cobaan bukanlah hal yang buruk apabila kita memaknainya dengan selaksa hikmah dan menjalaninya dengan segenggam keikhlasan serta tawakal dan berpasrah diri kepada Allah, di balik itu semua ada seberkas cahaya kehidupan yang begitu hangat merasuk jiwa dan begitu indah dalam anugrah nikmat. Sebagai manusia biasa, memang bisa saja kita mengalami kesedihan luar biasa, hati terasa gundah gulana dan pikiran dijejali seribu satu macam muatan negatif. Namun demikian itulah adanya, manakala kehendak Allah datang kita tidak akan pernah mampu menepisnya. Kalau kita menyadari seberapa pedihnya cobaan yang kita rasakan, tentunya tidak akan pernah bisa sebanding dengan besarnya nikmat yang diberikan-Nya. Bisa jadi Allah melimpahkan cobaan karena sayang kepada kita, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi dari Anas ra :

“Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya apabila Allah Ta’ala mencintai sesuatu kaum maka Ia mencobanya, barang siapa yang rela menerimanya maka iapun mendapat keridhaan Allah dan barang siapa yang murka maka iapun mendapat murka Allah.”

Oleh karena itu janganlah berputus asa, jangan juga menyerah, terimalah dengan sabar dan ikhlas serta tetaplah mensyukuri dengan keimanan kita, artinya tingkatkan ibadah serta berusahalah sambil tak bosan-bosannya berdo’a, karena sesungguhnya apapun bentuk cobaan yang kita dapatkan adalah yang terbaik bagi diri kita. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda :

”Seorang muslim yang tertimpa penderitaan, kegundahan, kesedihan, kesakitan, gangguan dan kerisauan sehingga terkena duri, semuanya itu merupakan kafarat (penebus) dari dosa-dosanya.”

juga dalam surah Az Zumar (QS 39:53) Allah berfirman :

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Bersyukurlah saudaraku, artinya apabila kita ikhlas, sabar dan juga qana’ah dalam menerimanya serta tetap melaksanakan ibadah dengan teguh sesuai syariat, maka Insya Allah bukan saja terlepas dari cobaan, akan tetapi juga terlepas dari dosa-dosa yang telah kita perbuat di dunia. Berapa banyak dosa yang telah kita lakukan dari yang disengaja maupun tidak disengaja, semua itu bisa luntur hanya dengan kesabaran dan keikhlasan kita dalam menjalani cobaan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi andai sederet dosa-dosa itu harus dibawa ke akhirat. Jadi mintalah pertolongan kepada Allah agar segera terlepas dari penderitaan yang dialami. Janganlah minta pertolongan kepada selain Allah semisal kepada setan, karena hanya kepada-Nya-lah yang sebenar-benarnya tempat berlindung dan memohon pertolongan. Sebagaimana Ali Imran (QS 3: 173) :

"Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung".

dan tentang keharusan sabar, Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah (QS 2:153) :
 
Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

            Allah mendatangkan cobaan bukan saja berupa penderitaan, akan tetapi juga berupa kesenangan dengan harta dan gemerlap dunia. Lalu kepada siapa dan bagaimana Allah mendatangkan cobaan? Bisa saja kepada orang-orang yang mengetahui kebenaran karena keimanannya, bisa juga kepada orang-orang yang mengetahui kebenaran karena memelihara kesalahannya, dan tentu juga kepada orang-orang kafir karena kesesatannya.

Orang beriman yang diberikan cobaan penderitaan, tentunya adalah ujian untuk menyempurnakan keimanannya. Sedangkan cobaan penderitaan orang yang senantiasa memelihara kesalahannya adalah merupakaan teguran atau peringatan agar ia menyadari dan kembali ke jalan benar. Allah juga senantiasa mencoba umatnya dengan menitipkan harta yang melimpah serta kenikmatan duniawi lainnya, dimana ujiannya adalah mampukah menjaga dan membelanjakannya sesuai dengan yang diamanahkan-Nya. Sudah barang tentu keberhasilan dalam menjalankan ujian tersebut, semuanya kembali kepada kesabaran dan keikhlasan serta keimanan. Lain halnya kepada orang kafir, bisa saja berupa harta yang mengalir deras bagaikan air hujan yang turun dari langit agar dengan kesenangannya mereka semakin sesat, atau bisa juga sebaliknya, Allah mengazabnya di dunia dengan keras. Sebagai mana firman Allah :

dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" (Al-An’am, QS 6:53)

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (Al-An’am, QS 6:44).

Saudaraku, kalau kita menyimak dan memaknai perjalanan para nabi, bagaimana Allah menguji kesabaran kepada mereka yang sudah jelas tingkat keimanannya tidak diragukan lagi, sebagai misal nabi Ayub dengan penyakit kulitnya yang dideritanya bertahun-tahun, nabi Yusup dengan penganiayaan yang dilakukan oleh saudara-saudaranya hingga harus menahan nafas di dalam sumur, begitu juga kepada nabi Daud, nabi Musa, nabi Isa dan para nabi lainnya termasuk Rasulullah SAW dengan penganiayaan-penganiayaan secara fsikologis dari orang-orang kafir. Tentunya buah dari kesabaran serta keteguhan iman mereka, Allah memberinya tempat yang sangat mulia. Lalu bagaimana dengan kita yang notaben hanya manusia biasa dengan tingkat keimanan yang masih teramat jauh dari kesempurnaan. Apabila kita menyadarinya, tentulah tidak seharusnya kita lantas menyerah, menyesali, terlebih lagi berputus asa. Bersemangatlah untuk berjuang menggali kembali kehidupan yang kita harapkan, tentunya dengan selalu berusaha dan tidak bosan-bosannya berdo’a. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Ali Imran (QS 3:139) :

janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Terkadang kita juga bertanya, mengapa do’a kita tidak dikabulkan oleh Allah SWT, padahal kita sudah banyak melakukan ibadah serta selalu mentaati perintahNYA. Ada dua kemungkinan :
Kemungkinan pertama, bukanlah Allah tidak mau mendengarkan permohonan kita, akan tetapi justru bisa jadi karena Allah Ta’ala menyukai kita, sehingga permintaan kita tersebut diletakkannya di bawah rahmat dan perlindunganNYA. Allah menyimpan doa-doa kita untuk keperluan kita sendiri di hari kiamat, dimana pada hari itu tidak ada gunanya lagi harta dan anak. Apabila tidak ada sesuatupun yang dapat menyelamatkan diri kita dari api neraka, maka ketika itulah Allah akan menunjukan dan membuka kembali segala doa-doa kita, sehingga seketika itu pulalah doa-doa kita tersebut akan dapat menyelamatkan kita dari panasnya api neraka. Betapa cinta serta kasih sayangnya Allah terhadap kita.
Dalam riwayat Aisyah r.a. berkata:
"Tidak ada seorang muslim yang berdo'a kepada Allah meminta sesuatu kemudian tidak muncul, kecuali Allah menangguhkannya untuk kesempatan lain di dunia, atau Allah menangguhkannya hingga hari qiamat nanti, kecuali ia tergesa-gesa dan putus asa". Lalu Urwah bertanya:"Wahai Ummul Mukminin, bagaimana ia tergesa-gesa dan putus asa?" Aisyah menjawab:"Misalnya ia berdoa, lalu berkata aku sudah berdoa tapi tidak diberi, atau aku telah berdoa tapi tidak dikabulkan"
Kemungkinan kedua, do’a tersebut tidak dikabulkan oleh Allah karena suatu sebab yang ada dalam diri kita. Misalnya karena kita tidak patuh menjalankan perintahNya, bahkan mungkin bukan itu saja, bisa jadi karena tidak adanya keseimbangan dengan apa yang telah kita lakukan untuk Allah, untuk Islam, untuk Rasulullah s.a.w? Sanggupkah kita lakukan seperti Bilal yang menahan siksaan kerana keimanannya kepada Allah? Sanggupkah kita lakukan seperti Saidina Abu Bakar As-Siddiq yang menafkahkan seluruh hartanya untuk Islam? Sanggupkah kita lakukan seperti Imam Nawawi yang mengorbankan siang dan malamnya serta mengorbankan kelezatan hidupnya di dunia ini demi untuk menegakkan ilmu agama Islam? Justru harusnya kita malu memohon kepada Allah tetapi tidak patuh kepada perintahNYA.
Firman Allah dalam surah Al-Baqarah (QS 2:186) :
dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Apabila Allah menyayangi kita, maka sedikit saja kesalahan yang kita lakukan tentunya akan sangat berpengaruh kepada kehidupan kita. Kadang kita sendiri tidak menyadari kalau telah melakukan dosa, bukan saja yang tidak disengaja atau yang jauh dari pengetahuan kita, bahkan juga yang disengaja. Terlebih juga kadang kita tidak menyadari akan kenikmatan yang begitu banyak telah dianugrahkanNYA kepada kita. Allah memang telah mengilhamkan kebaikan dan keburukan kepada hambaNYA, akan tetapi apabila kita menginginkan kemudahan dalam segala langkah kita, senantiasalah kita berupaya memelihara kebaikan dan menekan sedalam-dalamnya keburukan kita dengan penuh kesabaran. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Hajj (QS 22:34-35) :
” ............... dan berilah kabar gembira kepada orang yang tunduk patuh (kepada Allah), yaitu mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hati mereka dan sabar atas ujian yang menimpa mereka.”
Saudaraku, marilah kita menyadari bahwa kondisi apapun yang ditimpakan Allah kepada kita adalah sebenar-benarnya yang terbaik buat kita. Bersyukurlah dan tetaplah bangga terhadap seburuk dan sepahit apapun yang kita miliki saat ini. Bangkitlah serta janganlah lagi terhanyut dalam keresahan dan kegelisahaan, dimana sesungguhnya keadaan seperti itu tak ubahnya sebuah wahana yang akan menghadirkan arena setan untuk memainkan peranannya dengan segudang tipu daya. Tinggalkan dan lupakanlah hari kemarin yang telah kita jalani dengan berbagai kebaikan dan keburukan. Jadikanlah hari ini adalah waktu yang terbaik untuk memulai kembali menabur sebanyak-banyaknya kebaikan dan membuka seluas-luasnya pandangan ke depan. Berusahalah seoptimal mungkin, melangkahlah dengan segenap keyakinan, sebab sesungguhnya di hadapan kita masih begitu luas terhampar ladang pengharapan. Berdo’alah dan memintalah kepada Allah apa yang kita inginkan, namun tentunya juga dalam waktu yang sama kita harus berusaha bersungguh-sungguh untuk dapat memenuhi perintah-perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Marilah kita berazam untuk tidak akan pernah lagi mengulangi segala perbuatan buruk kita. Insya Allah, segala do’a kita akan senantiasa diterima oleh Allah SWT. Amin.*****