Oleh : Zamid al Zihar
Pict : rio-mamdoeh.blogspot.com |
Kesenjangan sosial di Indonesia
yang kita cintai ini sepertinya sudah menunjukkan jarak yang semakin jauh. Dari
permukaan kita bisa melihat wajah kehidupan yang begitu mewah, kehidupan yang
terbingkai gemerlap keduniaan, kehidupan yang seolah tidak pernah mengenal
kesulitan, kehidupan yang dengan segala penampilannya bergaya jetset. Namun
jika melangkah lebih jauh menyingkap sisi permukaan lainnya, maka kita akan
melihat pemandangan kehidupan yang begitu kontras perbedaannya, kehidupan yang
mengharu biru, kehidupan yang jauh dari kelayakkan bahkan teramat memprihatinkan.
Dua sisi keadaan kehidupan yang sangat bertolak belakang di mana orang-orang kaya
dengan leluasa memanjakan haknya menghambur-hamburkan uang, sementara
orang-orang miskin dengan nafas tersengal terpapah-papah mengais nafkah meski
hanya untuk sesuap nasi saja.
Potret kehidupan orang-orang yang jauh di bawah garis kemiskinan, sering
kita lihat dalam tayangan beberapa media elektronik, diantaranya ada keluarga
yang sudah bertahun-tahun mempertahankan kehidupannya dengan hanya mengkonsumsi
gaplek, ada juga yang hidup di bawah naungan atap seadanya, anak-anak terlantar
dan kelaparan, belum lagi kisah-kisah tragis lainnya seperti kisah sekeluarga
yang bunuh diri karena putus asa menanggung derita, seorang bapak harus
menginap di sel tahanan karena mencuri demi sesuap nasi untuk mengganjal perut
keluarganya, ada juga orang-orang yang sekian lama terbebani oleh penyakitnya
karena tidak mampu untuk berobat dan masih banyak lagi yang lainnya. Begitu
juga banyak mengenai kemiskinan yang diangkat mas media, di antaranya Pikiran
Rakyat (10/04/2011) melansir sebuah keluarga di Sukabumi yang sudah enam tahun
menjalani kehidupannya di kandang kambing, ada lagi di Bandung Barat seorang
nenek yang terpaksa makan kardus bekas karena tidak mampu membeli obat untuk
mengatasi penyakitnya. Mengenaskannya lagi seperti yang dikutip media yang sama
(17/02/2011), warga miskin dipersulit bahkan ditolak berobat oleh hampir semua
Rumah Sakit. Benar-benar sebuah penistaan.
Sejauh ini sepertinya keadaan tersebut tidak tertuang dalam catatan atau
laporan resmi para penguasa negeri ini, melainkan hanya merangkum sebatas sisi
kehidupan yang baik-baiknya saja. Bisa dimaklumi karena hal ini sangat
berpengaruh kepada prestasi kinerja mereka yang apabila mencantumkan kenyataan
yang ada tentunya akan menunjukkan bentuk ketidak-berhasilan. Dalam
pemandangannya secara umum selalu menampakkan kemajuan yang baik, berkamuflase dengan
seolah meraih keberhasilan dalam segala bidang terutama mengentaskan kemiskinan.
Memang memimpin tidaklah semudah menulis teori, tapi paling tidak tertanam
adanya sebuah kejujuran. Seperti pepatah mengatakan : to rule is easy, to govern is difficult. Berkuasa itu mudah, tetapi
memimpin bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang pemimpin harus mendahulukan
kepentingan orang banyak, tidak lantas menutupi keburukan hanya semata mencari
kebaikan diri sendiri untuk tujuan meraih keduniaan. Itulah barangkali mengapa
di negeri ini rentan kejahatan, rentan terhadap ketidakpuasan rakyatnya dengan mengaktualisasikannya
secara radikal, sebab kenyataan yang ada para pemimpinnya lebih mementingkan
diri sendiri serta merta bergelimang dengan kejahatan, sementara masalah yang
parsial seperti kemiskinan terabaikan yang kesemuanya itu mengundang kejahatan.
Benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan sepeninggalku adalah
terbukanya lebar-lebar kemewahan dan keindahan dunia atas kamu sekalian.”
(HR.Bukhari-Muslim).
Andai saja Allah menawarkan dua pilihan kepada manusia yang bisa
langsung diraih antara hidup bergelimang kekayaan dan hidup dengan kemiskinan,
sudah bisa dipastikan siapapun tidak akan ada yang memilih kemiskinan. Namun
sayangnya tidak demikian, karena sesungguhnya Allah telah menentukan takdir
seseorang yang kita sendiri tidak mengetahuinya, bahkan terkadang banyak yang
tidak pernah mau memahaminya. Allah menjadikan seseorang kaya atau miskin
bukanlah berarti lepas begitu saja dengan segala kebebasan menentukan sendiri
langkahnya, akan tetapi tentunya dibatasi oleh kewajiban yang apabila tidak
dipatuhi maka akan ada perhitungannya kelak di akhir kehidupan. Kekayaan akan
menghisab apabila tidak dipergunakannya di jalan Allah, begitu juga sebaliknya
kemiskinan akan membelit apabila tidak dijalaninya dengan ketawakalan. Kaya dan
miskin adalah keseimbangan kehidupan yang dibuat oleh Allah sedemikian rupa, di
mana sesungguhnya di antara keduanya ada hubungan timbal balik yang saling
melengkapi.
Allah Yang Maha Agung tidaklah semata memerintahkan sesuatu kepada manusia
dengan segala peraturan-Nya, melainkan adanya kemaslahatan bagi manusia itu
sendiri. Dalam hal ini manusia diberikan mandat dan kepercayaan untuk mengelola
bumi serta seisinya, sedangkan al-Qur’an sebagai undang-undangnya yang
merupakan pedoman langkah manusia baik dalam hubungannya dengan Dia, dengan sesama
manusia, maupun dengan alam semesta yang mencakup berbagai tumbuhan serta
binatang. Adapun pengadilannya jika terjadi suatu pelanggaran adalah merupakan
Kekuasaan-Nya kelak di tempat abadi. Demikian manusia yang diciptakan
berkelompok, berbangsa-bangsa dan bernegara, dalam menjalankan kepercayaannya juga
membuat undang-undang tersendiri, entah masalah syariat, politik, ekonomi maupun
ketentuan lainnya ada di dalamnya.
Namun sayangnya manusia begitu mempercai dan mengagungkan undang-undang yang
telah dibuatnya, tanpa mengetahui kehidupan yang hakiki melainkan hanya
lahiriyah saja dan lebih kepada keduniaan, sehingga dalam aktualisasinya banyak
sekali ketidak adilan. Sebut saja di negeri ini, Indonesia yang kita cintai,
moralitas para perangkat pengendali pemerintahan hampir semuanya tertutup kabut
hitam yang tebal. Mereka berlomba untuk dapat memenuhi kepentingannya sendiri
secara berlebihan, sementara melalaikan apa yang diperintahkan-Nya. Terhadap
kepentingan orang lain misalnya, seakan hilang dari keperdulian. Adapun perduli
sepertinya tidak lebih dari mengandalkan apa yang tersurat dalam undang-undang
tersebut, dan kebanyakan tidak menyentuh kepada nurani, sebagaimana Allah
berfirman :
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang
mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum, QS 30 : 7).
Nu’man bin Basyir ra. berkata : “Umar
bin Khaththab ra. menceritakan tentang keadaan orang-orang yang begitu getol
mengumpulkan dunia (harta), kemudian menceritakan tentang Rasulullah SAW yang
pernah lapar sehari penuh, tidak tersedia apa-apa untuk mengisi perutnya
walaupun sebutir korma yang paling buruk.’” (HR.Muslim).
Hadis tersebut menunjukkan keadaan terbalik, di mana seorang pemimpin
besar seperti Rasulullah SAW kehidupannya begitu bersahaja jauh di bawah
umatnya. Beliau lebih mementingkan kesejahteraan umatnya, dan untuk itu semua
beliau rela hidup seadanya. Sebagai manusia biasa, mungkin kita tidak akan
mampu seperti beliau, namun setidak-tidaknya kita bisa menteladaninya. Rasulullah
SAW mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berzuhud dan berbuat baik, andaikan
saja kita mau mengamalkannya, niscaya keseimbangan akan terjalin erat dengan ikatan
yang saling menguntungkan, bahkan bisa jadi di negeri ini tidak akan ada lagi
dinding kemewahan yang menutup dan membatasi perbedaan. Dengan kata lain
orang-orang yang kehidupannya berlebih akan membuka hati dan senantiasa
memperhatikan serta membantu memecahkan kesulitan orang-orang miskin, begitu
juga sebaliknya orang-orang yang bernasib kurang baik tentunya akan senantiasa
menghargai dan menghormati orang-orang yang bernasib baik. Lalu mungkinkah
keadaan terbalik ini akan terjadi di negeri ini? Wallahu’alam bishahab. ***