Oleh : Zamid al-Zihar
Foto : ibnuabbaskendari.wordpress.com |
Mendengar kata rentenir, maka yang terlintas dalam benak kita adalah tidak
ada lain selain riba. Memang seperti itulah adanya, tidak akan pernah ada
istilah rentenir kalau tidak ada istilah riba. Masyarakat kita sering
menyebutnya sebagai lintah darat, sementara orang barat menyamakannya dengan
vampire. Barangkali hanya berbeda sebutannya saja, tapi artinya sama yakni
penghisap darah. Mengapa sebutannya begitu ekstrim dan menyeramkan? Tentu
jawabannya sudah ada tertulis tebal dalam lembaran benak kita. Bukan lagi
rahasia umum, bahwa sebutan apapun untuk seorang rentenir adalah merupakan
gambaran dari kenyataan yang ada. Lalu bagaimana sesungguhnya eksistensi
rentenir sehingga berpredikat begitu buruk? Itulah barangkali pokok cerita
dalam tulisan ini yang tentunya juga diketengahkan berdasarkan realita dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu kiranya pas dan tidak berlebihan kalau
tulisan ini saya beri judul dengan polesan gaya bahasa metafora seperti tersebut di atas.
Namun sebelumnya tidak ada salahnya apabila terlebih dahulu kita mengulas sekilas
tentang pengertian rentenir dan riba serta factor apa saja yang mempengaruhi
berkembangnya rentenir.
Dalam kamus populer, rentenir berasal dari kata rente yang artinya bunga
(bunga uang) atau riba menurut Al-Qur’an. Sedangkan definisi umum dari bunga
atau riba itu sendiri adalah sejumlah nilai berdasarkan prosentase tertentu
dari jumlah pinjaman pokok yang harus disertakan pada saat pengembalian
pinjaman. Jadi rentenir dapat diartikan sebagai orang yang hidupnya dari riba. Riba
bukan saja dikategorikan kepada sejumlah uang, tapi bisa juga berupa sejumlah barang
yang dikonversikan dengan nilai uang (Insya Allah dalam tulisan lain saya akan
membahas khusus tentang riba). Tegasnya yang dinamakan riba adalah hukumnya haram,
bahkan di dalam Al-Quran disebutkan kata riba berulang sebanyak delapan kali yakni
terdapat dalam surah Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa dan Ar-Rum.
Rentenir atau pelaku ribawi, dalam menjalankan usahanya ada yang
perorangan dan juga ada yang berkelompok. Rentenir yang berkelompok biasanya bernaung
dalam suatu wadah semisal bank atau lembaga keuangan lainnya. Begitu juga sebaliknya,
orang-orang yang melibatkan diri dalam keterikatannya dengan pelaku ribawi ada
yang perorangan dan juga ada yang berkelompok baik yang tergabung dalam
kelompok usaha berbadan hukum maupun independen. Bisnis ribawi yang dijalankan
perorangan atau kelompok dalam scope
kecil lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan rentenir. Secara umum berkembangnya
bisnis ribawi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni : faktor berkembangnya
dunia usaha, faktor pola dan gaya
hidup masyarakat serta faktor kemiskinan dan kesenjangan sosial. Lalu adakah
kemungkinan lain yang secara khusus bisa mempengaruhi berkembangnya bisnis
sesat tersebut? Jawabannya akan diketemukan di penggalan akhir tulisan ini.
Adanya keterikatan masyarakat dalam hubungannya dengan rentenir tentunya
bisa karena kebutuhan permodalan usaha, bisa karena kebutuhan untuk memenuhi
pola dan gaya
hidup, juga yang lebih mengenaskan karena desakan kebutuhan untuk sekedar mempertahankan
hidup. Lantas bagaimana sebenarnya keberadaan rentenir di mata masyarakat kecil
pada umumnya? Begitu burukkah atau malah sebaliknya? Mari sejenak kita menyimak
sepenggal syair lagu “melepasmu” dari Band
Drive di bawah ini :
tak mungkin menyalahkan waktu
tak mungkin menyalahkan keadaan
kau datang di saat membutuhkanmu
dari masalah hidupku ..........
semakin ku menyayangimu
semakin kuharus melepasmu dari hidupku
Seperti itulah barangkali gambaran kenyataan yang bergulir di masyarakat.
Manakala kebutuhan datang mendesak, sosok rentenir bagaikan senyuman bidadari cantik
yang begitu terasa menyejukan, bahkan sesaat timbul rasa sayang yang
berlebihan. Namun sebaliknya ketika dilanda kesulitan dimana tidak mampu lagi mengembalikan
kewajiban, maka rentenir tak ubahnya sesosok mahluk paling buruk yang menakutkan.
Apabila ingin terhindar dari panasnya api riba, teorinya kira-kira seperti penggalan
bait syair lagu di atas. Begitu menyayangi begitu segera harus melepaskan,
karena semakin mendekati akan semakin dekat kepada kesulitan.
Tidak sedikit perusahaan yang
bangkrut karena harus menanggung beban hutang ke bank atas pinjaman permodalan dengan
bunga yang membelit. Meskipun faktor utama yang mempengaruhi kehancurannya
adalah adanya fluktuasi kondisi ekonomi tidak menentu yang berdampak kepada
naiknya harga kebutuhan bahan baku, sehingga terjadi stagnasi baik di dalam
produksi maupun tingkat daya beli. Ujungnya perusahaan tidak mampu lagi secara
konsisten membayar kewajibannya atau lebih dikenal dengan istilah kredit macet.
Bagaimana sikap bank dengan kondisi seperti itu? Tidak mau tahu, karena sudah
terikat oleh kesepakatan dan pernyataan kreditor pada saat akad kredit.
Kalaupun ada toleransi, hanyalah sebatas diadakannya konsiliasi waktu
pembayaran. Apapun yang terjadi, secara fisik pihak bank tidak akan pernah dirugikan,
karena tentunya mereka memegang agunan.
Masih ingat kasus gantung diri
seorang artis ibu kota yang kerap muncul di layar kaca dan selalu memerankan
sebagai seorang ibu yang bijaksana. Itu terjadi di era tahun delapan puluhan. Karena
hutang yang menjerat memaksanya harus mengakhiri hidup dengan cara tragis. Bisa
dibayangkan oleh kita, apa yang sesungguhnya terjadi hingga membuatnya harus nekad
melakukan sesuatu yang tidak wajar. Bisa jadi karena bayangan seseorang bermuka
seram yang kerap muncul di setiap tanggal jatuh tempo. Terkadang pola hidup berlebihan
bisa memaksa seseorang untuk merubah keadaannya, meskipun dari sisi normalisasi
kehidupan sebenarnya sudah lebih dari cukup. Oleh karena itu tidak heran kalau
banyak orang-orang mapan yang terjerumus kepada kubangan racun ribawi.
Lain lagi dengan tragedi yang
terjadi di Kalimantan Barat sekitar pertengahan tahun 2008. Seorang buruh kecil
membunuh seorang oknum aparat yang membekingi atau menjadi debt collector pada saat
penagihan tunggakan hutang. Proses penangkapan sang pembunuh tersebut di
rumahnya sempat ditayangkan di salah satu station televisi secara live. Kebetulan saya melihat langsung di
layar kaca, sejumlah aparat polisi mengepung sebuah rumah yang sangat sederhana.
Begitu si pemilik rumah dengan penampilan layaknya orang susah keluar dengan
teriakannya yang lantang dan bernada menantang, maka tak ada ampun lagi sebuah
peluru membungkamnya lalu ia ambruk tak berdaya. Merinding haru, bagaimana bisa
seorang yang berwajah lugu berubah beringas manakala terbelit hutang.
Seringkali terjadi kasus serupa
dengan konsekwensi yang berbeda. Ada yang gara-gara hutang lima juta, harus
mengorbankan satu-satunya rumah tempat tinggalnya. Ada lagi gara-gara hutang seratus
ribu, harus melakukan pembunuhan. Ada juga gara-gara hutang yang nilainya tidak
seberapa harus kehilangan akal atau gila. Bahkan yang lebih biadab lagi dari
itu, acap kali kita mendengar gara-gara terbelenggu hutang harus rela mengorbankan
kegadisan anaknya. Disadari atau tidak, turut campur syetan melalui hutang
menggunung karena bunga berbunga telah memunculkan kabut tebal yang gelap
gulita, sehingga mampu menutupi jernihnya hati dan beningnya pandangan
seseorang. Perilaku ribawi tidak ubahnya perilaku syetan, sebagaimana Allah
berfirman dalam surah Al-Baqarah (QS 2 : 275) :
” orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Pandainya para pelaku ribawi, untuk
menutupi citra buruknya pada sebutan rentenir, maka mereka berlindung di bawah
nama yang seolah lebih indah dan ramah. Semisal koperasi simpan pinjam yang
lebih dikenal dengan bank keliling. Ada juga yang berlindung di bawah stempel pegadaian
yang notaben dicanangkan pemerintah untuk masyarakat bawah. Bahkan lebih besar
lagi scopenya yakni berpayungkan bank
ataupun lembaga keuangan lainnya. Dalam prakteknya, rentenir yang bernaung di
bawah bank (bukan bank keliling) secara administratif serta nominalisasi
pembebanan bunga mungkin boleh dibilang lebih baik dibanding rentenir yang
berkembang di masyarakat. Rentenir yang bernaung di bawah bank lebih selektif
menilai kemapanan calon nasabahnya sebelum mengucurkan uangnya, bunga antara 1½ % - 4½ % per bulan, penetapan agunan sebagai
persyaratan untuk pinjaman skala besar dan cukup slip gaji atau bukti usaha
lainnya untuk pinjaman skala kecil. Sedangkan rentenir yang berkembang di masyarakat,
umumnya tidak melihat kondisi atau kemapanan calon peminjamnya, yang penting
ada agunan dengan nilai dan jenis barang yang mudah diuangkan, bunganya
gila-gilaan rata-rata sebesar 20 % per bulan. Begitu juga dengan yang dinamakan
bank keliling, hanya saja mereka terbatas pada nilai atau jumlah pinjaman yang
digulirkannya, karena rata-rata sasarannya orang-orang kecil dengan ketetapan
periode angsuran biasanya secara harian. Pada prinsipnya baik rentenir yang
berpayungkan bank maupun rentenir lepas, begitu nasabah mengalami kesulitan,
sikap yang ditunjukannya sama saja.
Rentenir dalam usaha mencari
mangsanya ada yang aktif dan ada juga yang pasif. Namun sejalan
perkembangannya, yang aktif bisa menjadi pasif atau sebaliknya. Rentenir aktif biasanya
mereka yang bernaung di bawah organisasi seperti bank atau lembaga keuangan
lainnya. Mereka senantiasa melebarkan tangan-tangannya untuk dapat meraih
banyak korban. Misalnya koperasi simpan pinjam atau bank keliling mengerahkan
sejumlah orang dengan upah tertentu untuk mencari mangsanya hingga ke
pelosok-pelosok, biasanya yang menjadi korban adalah orang-orang miskin dan
para pedagang kecil. Ada yang lebih keren lagi dengan sebutan sales credit card untuk para pencari
keuntungan melalui produk kartu kredit yang ditawarkan oleh bank-bank umum,
dimana korbannya yang dominan adalah para karyawan atau pegawai kantor dari
level bawah hingga level atas. Keramahan, senyuman manis, iming-iming bonus
reward serta berbagai macam kemudahan lainnya mereka jadikan umpan andalan
untuk menggaet para calon korbannya. Beda lagi dengan rentenir pasif, biasanya
mereka adalah rentenir perorangan yang menyatu dalam komunitas kehidupan
masyarakat, dimana dalam mendapatkan nasabahnya mereka memanfaatkan estafet
informasi dari mulut ke mulut orang-orang yang pernah berhubungan dengannya, dan
pada umumnya yang menjadi korbannya kebanyakan dari kalangan orang-orang miskin.
Trend debt collector dengan wajah sangar dan berbadan besar layaknya body guard sepertinya sudah merupakan trade mark rentenir ataupun bank sebagai
alat yang digunakan untuk final of
solution. Bahkan tidak sedikit yang memanfaatkan oknum aparat dengan
seragam kebesarannya yang gagah semisal tentara ataupun polisi untuk sekedar
menekan psikologis nasabahnya yang bermasalah. Mereka memburu si penunggak
bagaikan memburu penjahat kelas kakap. Sama sekali tidak mempunyai perasaan,
bahkan tidak mau tahu kesulitan orang lain yang menjadi korbannya. Sebuah
perbedaan suasana yang kontras, dimana ketika menawarkan produk ribanya mereka
menunjukan performance yang begitu manis, akan tetapi ketika terjadinya kemacetan
dalam pengembalian, maka tak pelak lagi berbagai cara menyakitkan mereka
lakukan.
Perilaku rentenir memang sudah
melampaui batas. Mayoritas korbannya adalah orang-orang yang berekonomi lemah. Salahkah
keberadaan rentenir dan salahkah orang-orang yang berhubungan dengan
rentenir ? Di satu sisi orang-orang miskin membutuhkan uang untuk menopang
penghidupannya, namun di sisi lain ibarat bait syair lagu di atas “kau datang di saat membutuhkanmu“, tidak
ada lagi tumpuan harapan selain satu-satunya rentenir yang dapat diandalkan
sebagai pelipur lara meskipun dirasakannya hanyalah sebatas menghitung hari
saja. Dalam kondisi seperti itu, haruskah waktu dan keadaan yang dipersalahkan.
Haruskah selalu program pemerintah yang dikambing hitamkan dengan bahasa klasik
dan menuduh pemerintah tidak berhasil mengurangi kemiskinan. Lantas siapakah
yang mesti bertanggung jawab atas keterpurukan mereka yang senantiasa terombang
ambing oleh keadaan yang serba sulit.
Mari sejenak kita renungkan. Allah
menciptakan sesuatu berpasang-pasangan, diantaranya ada orang yang kaya dan ada
yang miskin. Sudah barang tentu dibalik itu semua terkandung tujuan yang sangat
berarti. Kalau kita menyadari bahwa kekayaan yang dilimpahkan kepada kita hanyalah
sekedar titipan dimana di dalamnya terdapat unsur ujian dan cobaan, mampukah
kita membawanya di jalan yang diridhaiNYA. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman sebagai
berikut :
“dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu
sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata:
"Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu
yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang
yang saleh?" (Al-Munafiqun, QS 63:10)
“berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.“
(Al-Hadid, QS 57:7)
Al-Qur’an adalah juklak kehidupan manusia. Melalui RasulNYA Allah telah
menurunkan ketentuan-ketentuan yang begitu sempurna. Ayat-ayat di atas hanyalah
sebagian dari kandungan Al-Qur’an yang menunjukan keharusan orang-orang kaya
kepada orang-orang miskin. Tentunya tak akan pernah turun ayat-ayat tersebut
jika saja Allah berkehendak menjadikan orang kaya semua atau sebaliknya yang
menghuni dunia ini. Jadi keberadaan orang kaya dan miskin adalah suatu
keseimbangan yang sengaja Allah ciptakan sedemikian rupa untuk tujuan yang baik
bagi kehidupan hambaNYA. Apabila kita maknai, di dalamnya ada suatu
pembelajaran yang sangat berarti untuk kesempurnaan kehidupan manusia. Sudah
barang tentu di dalam perjalanannya Allah tidak akan melepaskan dari hukumNYA,
ujian dan cobaan serta teguran senantiasa digulirkanNYA, sehingga tak perlu
heran kalau banyak orang kaya yang dijadikan miskin dan orang miskin dijadikan
kaya.
Begitu banyak orang kaya di negeri
ini. Andaikan saja mereka menyadari akan anjuran Allah sebagaimana yang tercantum
dalam ayat-ayat tersebut di atas, tentunya bukan mustahil, tidak akan pernah ada
lagi rentenir menjerat orang-orang miskin. Malah kenyataan yang ada
justru sebaliknya, tidak sedikit orang-orang yang hidupnya mapan melibatkan
diri kepada bisnis ribawi hanya karena mengikuti nafsu duniawi, bahkan juga tidak
sedikit yang pada akhirnya mengalami kesulitan karena terjerat riba itu sendiri.
Disamping itu juga tidak sedikit orang-orang kaya yang memboroskan hartanya
hanya untuk sekedar memenuhi nafsu syetannya. Sementara menggulirkan zakat,
shadaqah, infaq dan lain sebagainya yang bernuansa amal hanyalah sebatas
pemenuhan kewajiban semata atas apa yang telah disyariatkan agama tanpa
disinambungkan dengan solusi yang signifikan. Lalu dimanakah orang-orang kaya
yang sebenar-benarnya mengemban amanah? Adakah yang perduli dengan penderitaan
orang-orang kecil? Barangkali factor itulah yang kemungkinan secara khusus
mempengaruhi kepada tumbuhnya rentenir.
Riba adalah kubangan syetan. Kubangan yang dipenuhi racun kehidupan. Jalan
masuk menuju pintu kubangan tersebut laksana garis hitam yang membentang,
dimana bagi orang-orang yang serba kesulitan atau bagi orang-orang yang haus
akan kebutuhan duniawi nampak bagaikan fatamorgana berkilau keindahan. Riba bukanlah
sesuatu yang dapat menyelesaikan
masalah, juga bukanlah sesuatu yang dapat menambah manfaat kepada nilai
kehidupan, hanyalah lebih kepada penambahan harta yang justru akan menyesatkan.
Simak firman Allah dalam surah Ar-Rum (QS 30:39) di bawah ini :
“dan
sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta
manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka
(yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Buah-buahan yang terlarang adalah yang paling manis, sebuah peribahasa
yang artinya sesuatu yang dilarang itu justru acapkali menimbulkan hasrat bagi
kebanyakan orang untuk melakukannya. Begitulah kira-kira daya tarik yang
terpancar dari sesuatu yang menghasilkan riba. Lalu bagaimana menghindarinya? Rasanya
bagi orang-orang yang hidupnya kurang beruntung, memang tidak akan mungkin
mendapatkan bantuan dari orang yang terlalu serakah akan harta kekayaannya.
Ibarat berharap mendapatkan darah dari batu, hingga nangis bombaypun tidak akan
pernah keluar. Akan tetapi Allah maha penyayang, sesungguhnya Dia tidak akan
pernah membiarkan hambaNYA kelaparan selama kita berjalan pada koridor
keimanan. Berdo’alah agar senantiasa dibukakan jalan keluar serta dilepaskan
dari kesulitan. Sebagaimana firmanNYA dalam surah Al-An’am (QS 6:151) :
“…..dan janganlah
kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,…..”
Rentenir merupakan fenomena kehidupan, konsekwensi dari perilaku sosial
yang kian akrab dengan nafsu duniawi. Keberadaannya bagai air mengalir, menyibak
di antara keterpurukan dan kegemerlapan kehidupan manusia. Menyikapi hal ini, barangkali kita hanyalah bisa membatasi
bukan mengatasi. Mari kita sentuh sedalam-dalamnya perasaan. Kalau tidak ada
kepedihan, maka tidak akan ada kenikmatan. Pernahkah kita merasakan perih dan
pedihnya kehidupan? Adakah kita menyadari bahwa kenikmatan yang kita dapatkan
tidaklah akan abadi? Bukalah hati lebar-lebar, tengoklah lebih jauh ke dalam
diri kita, siapa sesungguhnya kita dan siapa sesungguhnya yang menjadikan hidup
kita beruntung di dunia ini. Agaknya tidak akan pernah rugi andaikan berbagi
sedikit saja air penawar dengan mereka yang tengah dahaga. Mengakhiri tulisan
ini, sepenggal bait syair lagu “kembali untukmu” yang dipopulerkan group Band
Kotak kiranya mewakili kita untuk lebih jernih memaknai nikmat yang kita
dapatkan.
Kuyakini nikmat yang kau beri
Segalanya kepadamu kan kembali
Kupejamkan sejenak mataku
Kubuka hatiku sebelum ku kembali
________