Selasa, 22 Mei 2012

RENTENIR Layaknya Monster Berwajah Cantik


Oleh : Zamid al-Zihar

Foto : ibnuabbaskendari.wordpress.com
   Mendengar kata rentenir, maka yang terlintas dalam benak kita adalah tidak ada lain selain riba. Memang seperti itulah adanya, tidak akan pernah ada istilah rentenir kalau tidak ada istilah riba. Masyarakat kita sering menyebutnya sebagai lintah darat, sementara orang barat menyamakannya dengan vampire. Barangkali hanya berbeda sebutannya saja, tapi artinya sama yakni penghisap darah. Mengapa sebutannya begitu ekstrim dan menyeramkan? Tentu jawabannya sudah ada tertulis tebal dalam lembaran benak kita. Bukan lagi rahasia umum, bahwa sebutan apapun untuk seorang rentenir adalah merupakan gambaran dari kenyataan yang ada. Lalu bagaimana sesungguhnya eksistensi rentenir sehingga berpredikat begitu buruk? Itulah barangkali pokok cerita dalam tulisan ini yang tentunya juga diketengahkan berdasarkan realita dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu kiranya pas dan tidak berlebihan kalau tulisan ini saya beri judul dengan polesan gaya bahasa metafora seperti tersebut di atas. Namun sebelumnya tidak ada salahnya apabila terlebih dahulu kita mengulas sekilas tentang pengertian rentenir dan riba serta factor apa saja yang mempengaruhi berkembangnya rentenir.

   Dalam kamus populer, rentenir berasal dari kata rente yang artinya bunga (bunga uang) atau riba menurut Al-Qur’an. Sedangkan definisi umum dari bunga atau riba itu sendiri adalah sejumlah nilai berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang harus disertakan pada saat pengembalian pinjaman. Jadi rentenir dapat diartikan sebagai orang yang hidupnya dari riba. Riba bukan saja dikategorikan kepada sejumlah uang, tapi bisa juga berupa sejumlah barang yang dikonversikan dengan nilai uang (Insya Allah dalam tulisan lain saya akan membahas khusus tentang riba). Tegasnya yang dinamakan riba adalah hukumnya haram, bahkan di dalam Al-Quran disebutkan kata riba berulang sebanyak delapan kali yakni terdapat dalam surah Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa dan Ar-Rum.

   Rentenir atau pelaku ribawi, dalam menjalankan usahanya ada yang perorangan dan juga ada yang berkelompok. Rentenir yang berkelompok biasanya bernaung dalam suatu wadah semisal bank atau lembaga keuangan lainnya. Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang melibatkan diri dalam keterikatannya dengan pelaku ribawi ada yang perorangan dan juga ada yang berkelompok baik yang tergabung dalam kelompok usaha berbadan hukum maupun independen. Bisnis ribawi yang dijalankan perorangan atau kelompok dalam scope kecil lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan rentenir. Secara umum berkembangnya bisnis ribawi dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni : faktor berkembangnya dunia usaha, faktor pola dan gaya hidup masyarakat serta faktor kemiskinan dan kesenjangan sosial. Lalu adakah kemungkinan lain yang secara khusus bisa mempengaruhi berkembangnya bisnis sesat tersebut? Jawabannya akan diketemukan di penggalan akhir tulisan ini.

   Adanya keterikatan masyarakat dalam hubungannya dengan rentenir tentunya bisa karena kebutuhan permodalan usaha, bisa karena kebutuhan untuk memenuhi pola dan gaya hidup, juga yang lebih mengenaskan karena desakan kebutuhan untuk sekedar mempertahankan hidup. Lantas bagaimana sebenarnya keberadaan rentenir di mata masyarakat kecil pada umumnya? Begitu burukkah atau malah sebaliknya? Mari sejenak kita menyimak sepenggal syair lagu “melepasmu” dari Band Drive di bawah ini :

tak mungkin menyalahkan waktu
tak mungkin menyalahkan keadaan
kau datang di saat membutuhkanmu
dari masalah hidupku ..........
semakin ku menyayangimu
semakin kuharus melepasmu dari hidupku

Seperti itulah barangkali gambaran kenyataan yang bergulir di masyarakat. Manakala kebutuhan datang mendesak, sosok rentenir bagaikan senyuman bidadari cantik yang begitu terasa menyejukan, bahkan sesaat timbul rasa sayang yang berlebihan. Namun sebaliknya ketika dilanda kesulitan dimana tidak mampu lagi mengembalikan kewajiban, maka rentenir tak ubahnya sesosok mahluk paling buruk yang menakutkan. Apabila ingin terhindar dari panasnya api riba, teorinya kira-kira seperti penggalan bait syair lagu di atas. Begitu menyayangi begitu segera harus melepaskan, karena semakin mendekati akan semakin dekat kepada kesulitan.

   Tidak sedikit perusahaan yang bangkrut karena harus menanggung beban hutang ke bank atas pinjaman permodalan dengan bunga yang membelit. Meskipun faktor utama yang mempengaruhi kehancurannya adalah adanya fluktuasi kondisi ekonomi tidak menentu yang berdampak kepada naiknya harga kebutuhan bahan baku, sehingga terjadi stagnasi baik di dalam produksi maupun tingkat daya beli. Ujungnya perusahaan tidak mampu lagi secara konsisten membayar kewajibannya atau lebih dikenal dengan istilah kredit macet. Bagaimana sikap bank dengan kondisi seperti itu? Tidak mau tahu, karena sudah terikat oleh kesepakatan dan pernyataan kreditor pada saat akad kredit. Kalaupun ada toleransi, hanyalah sebatas diadakannya konsiliasi waktu pembayaran. Apapun yang terjadi, secara fisik pihak bank tidak akan pernah dirugikan, karena tentunya mereka memegang agunan.

   Masih ingat kasus gantung diri seorang artis ibu kota yang kerap muncul di layar kaca dan selalu memerankan sebagai seorang ibu yang bijaksana. Itu terjadi di era tahun delapan puluhan. Karena hutang yang menjerat memaksanya harus mengakhiri hidup dengan cara tragis. Bisa dibayangkan oleh kita, apa yang sesungguhnya terjadi hingga membuatnya harus nekad melakukan sesuatu yang tidak wajar. Bisa jadi karena bayangan seseorang bermuka seram yang kerap muncul di setiap tanggal jatuh tempo. Terkadang pola hidup berlebihan bisa memaksa seseorang untuk merubah keadaannya, meskipun dari sisi normalisasi kehidupan sebenarnya sudah lebih dari cukup. Oleh karena itu tidak heran kalau banyak orang-orang mapan yang terjerumus kepada kubangan racun ribawi.

   Lain lagi dengan tragedi yang terjadi di Kalimantan Barat sekitar pertengahan tahun 2008. Seorang buruh kecil membunuh seorang oknum aparat yang membekingi atau menjadi debt collector pada saat penagihan tunggakan hutang. Proses penangkapan sang pembunuh tersebut di rumahnya sempat ditayangkan di salah satu station televisi secara live. Kebetulan saya melihat langsung di layar kaca, sejumlah aparat polisi mengepung sebuah rumah yang sangat sederhana. Begitu si pemilik rumah dengan penampilan layaknya orang susah keluar dengan teriakannya yang lantang dan bernada menantang, maka tak ada ampun lagi sebuah peluru membungkamnya lalu ia ambruk tak berdaya. Merinding haru, bagaimana bisa seorang yang berwajah lugu berubah beringas manakala terbelit hutang.

   Seringkali terjadi kasus serupa dengan konsekwensi yang berbeda. Ada yang gara-gara hutang lima juta, harus mengorbankan satu-satunya rumah tempat tinggalnya. Ada lagi gara-gara hutang seratus ribu, harus melakukan pembunuhan. Ada juga gara-gara hutang yang nilainya tidak seberapa harus kehilangan akal atau gila. Bahkan yang lebih biadab lagi dari itu, acap kali kita mendengar gara-gara terbelenggu hutang harus rela mengorbankan kegadisan anaknya. Disadari atau tidak, turut campur syetan melalui hutang menggunung karena bunga berbunga telah memunculkan kabut tebal yang gelap gulita, sehingga mampu menutupi jernihnya hati dan beningnya pandangan seseorang. Perilaku ribawi tidak ubahnya perilaku syetan, sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah (QS 2 : 275) :

” orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

   Pandainya para pelaku ribawi, untuk menutupi citra buruknya pada sebutan rentenir, maka mereka berlindung di bawah nama yang seolah lebih indah dan ramah. Semisal koperasi simpan pinjam yang lebih dikenal dengan bank keliling. Ada juga yang berlindung di bawah stempel pegadaian yang notaben dicanangkan pemerintah untuk masyarakat bawah. Bahkan lebih besar lagi scopenya yakni berpayungkan bank ataupun lembaga keuangan lainnya. Dalam prakteknya, rentenir yang bernaung di bawah bank (bukan bank keliling) secara administratif serta nominalisasi pembebanan bunga mungkin boleh dibilang lebih baik dibanding rentenir yang berkembang di masyarakat. Rentenir yang bernaung di bawah bank lebih selektif menilai kemapanan calon nasabahnya sebelum mengucurkan uangnya, bunga antara 1½ % - 4½ % per bulan, penetapan agunan sebagai persyaratan untuk pinjaman skala besar dan cukup slip gaji atau bukti usaha lainnya untuk pinjaman skala kecil. Sedangkan rentenir yang berkembang di masyarakat, umumnya tidak melihat kondisi atau kemapanan calon peminjamnya, yang penting ada agunan dengan nilai dan jenis barang yang mudah diuangkan, bunganya gila-gilaan rata-rata sebesar 20 % per bulan. Begitu juga dengan yang dinamakan bank keliling, hanya saja mereka terbatas pada nilai atau jumlah pinjaman yang digulirkannya, karena rata-rata sasarannya orang-orang kecil dengan ketetapan periode angsuran biasanya secara harian. Pada prinsipnya baik rentenir yang berpayungkan bank maupun rentenir lepas, begitu nasabah mengalami kesulitan, sikap yang ditunjukannya sama saja.

   Rentenir dalam usaha mencari mangsanya ada yang aktif dan ada juga yang pasif. Namun sejalan perkembangannya, yang aktif bisa menjadi pasif atau sebaliknya. Rentenir aktif biasanya mereka yang bernaung di bawah organisasi seperti bank atau lembaga keuangan lainnya. Mereka senantiasa melebarkan tangan-tangannya untuk dapat meraih banyak korban. Misalnya koperasi simpan pinjam atau bank keliling mengerahkan sejumlah orang dengan upah tertentu untuk mencari mangsanya hingga ke pelosok-pelosok, biasanya yang menjadi korban adalah orang-orang miskin dan para pedagang kecil. Ada yang lebih keren lagi dengan sebutan sales credit card untuk para pencari keuntungan melalui produk kartu kredit yang ditawarkan oleh bank-bank umum, dimana korbannya yang dominan adalah para karyawan atau pegawai kantor dari level bawah hingga level atas. Keramahan, senyuman manis, iming-iming bonus reward serta berbagai macam kemudahan lainnya mereka jadikan umpan andalan untuk menggaet para calon korbannya. Beda lagi dengan rentenir pasif, biasanya mereka adalah rentenir perorangan yang menyatu dalam komunitas kehidupan masyarakat, dimana dalam mendapatkan nasabahnya mereka memanfaatkan estafet informasi dari mulut ke mulut orang-orang yang pernah berhubungan dengannya, dan pada umumnya yang menjadi korbannya kebanyakan dari kalangan orang-orang miskin.  

   Trend debt collector dengan wajah sangar dan berbadan besar layaknya body guard sepertinya sudah merupakan trade mark rentenir ataupun bank sebagai alat yang digunakan untuk final of solution. Bahkan tidak sedikit yang memanfaatkan oknum aparat dengan seragam kebesarannya yang gagah semisal tentara ataupun polisi untuk sekedar menekan psikologis nasabahnya yang bermasalah. Mereka memburu si penunggak bagaikan memburu penjahat kelas kakap. Sama sekali tidak mempunyai perasaan, bahkan tidak mau tahu kesulitan orang lain yang menjadi korbannya. Sebuah perbedaan suasana yang kontras, dimana ketika menawarkan produk ribanya mereka menunjukan performance yang begitu manis, akan tetapi ketika terjadinya kemacetan dalam pengembalian, maka tak pelak lagi berbagai cara menyakitkan mereka lakukan.

   Perilaku rentenir memang sudah melampaui batas. Mayoritas korbannya adalah orang-orang yang berekonomi lemah. Salahkah keberadaan rentenir dan salahkah orang-orang yang berhubungan dengan rentenir ? Di satu sisi orang-orang miskin membutuhkan uang untuk menopang penghidupannya, namun di sisi lain ibarat bait syair lagu di atas kau datang di saat membutuhkanmu, tidak ada lagi tumpuan harapan selain satu-satunya rentenir yang dapat diandalkan sebagai pelipur lara meskipun dirasakannya hanyalah sebatas menghitung hari saja. Dalam kondisi seperti itu, haruskah waktu dan keadaan yang dipersalahkan. Haruskah selalu program pemerintah yang dikambing hitamkan dengan bahasa klasik dan menuduh pemerintah tidak berhasil mengurangi kemiskinan. Lantas siapakah yang mesti bertanggung jawab atas keterpurukan mereka yang senantiasa terombang ambing oleh keadaan yang serba sulit.

   Mari sejenak kita renungkan. Allah menciptakan sesuatu berpasang-pasangan, diantaranya ada orang yang kaya dan ada yang miskin. Sudah barang tentu dibalik itu semua terkandung tujuan yang sangat berarti. Kalau kita menyadari bahwa kekayaan yang dilimpahkan kepada kita hanyalah sekedar titipan dimana di dalamnya terdapat unsur ujian dan cobaan, mampukah kita membawanya di jalan yang diridhaiNYA. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman sebagai berikut :

dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?" (Al-Munafiqun, QS 63:10)

“berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.“ (Al-Hadid, QS 57:7)

   Al-Qur’an adalah juklak kehidupan manusia. Melalui RasulNYA Allah telah menurunkan ketentuan-ketentuan yang begitu sempurna. Ayat-ayat di atas hanyalah sebagian dari kandungan Al-Qur’an yang menunjukan keharusan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin. Tentunya tak akan pernah turun ayat-ayat tersebut jika saja Allah berkehendak menjadikan orang kaya semua atau sebaliknya yang menghuni dunia ini. Jadi keberadaan orang kaya dan miskin adalah suatu keseimbangan yang sengaja Allah ciptakan sedemikian rupa untuk tujuan yang baik bagi kehidupan hambaNYA. Apabila kita maknai, di dalamnya ada suatu pembelajaran yang sangat berarti untuk kesempurnaan kehidupan manusia. Sudah barang tentu di dalam perjalanannya Allah tidak akan melepaskan dari hukumNYA, ujian dan cobaan serta teguran senantiasa digulirkanNYA, sehingga tak perlu heran kalau banyak orang kaya yang dijadikan miskin dan orang miskin dijadikan kaya.

   Begitu banyak orang kaya di negeri ini. Andaikan saja mereka menyadari akan anjuran Allah sebagaimana yang tercantum dalam ayat-ayat tersebut di atas, tentunya bukan mustahil, tidak akan pernah ada lagi rentenir menjerat orang-orang miskin. Malah kenyataan yang ada justru sebaliknya, tidak sedikit orang-orang yang hidupnya mapan melibatkan diri kepada bisnis ribawi hanya karena mengikuti nafsu duniawi, bahkan juga tidak sedikit yang pada akhirnya mengalami kesulitan karena terjerat riba itu sendiri. Disamping itu juga tidak sedikit orang-orang kaya yang memboroskan hartanya hanya untuk sekedar memenuhi nafsu syetannya. Sementara menggulirkan zakat, shadaqah, infaq dan lain sebagainya yang bernuansa amal hanyalah sebatas pemenuhan kewajiban semata atas apa yang telah disyariatkan agama tanpa disinambungkan dengan solusi yang signifikan. Lalu dimanakah orang-orang kaya yang sebenar-benarnya mengemban amanah? Adakah yang perduli dengan penderitaan orang-orang kecil? Barangkali factor itulah yang kemungkinan secara khusus mempengaruhi kepada tumbuhnya rentenir.

   Riba adalah kubangan syetan. Kubangan yang dipenuhi racun kehidupan. Jalan masuk menuju pintu kubangan tersebut laksana garis hitam yang membentang, dimana bagi orang-orang yang serba kesulitan atau bagi orang-orang yang haus akan kebutuhan duniawi nampak bagaikan fatamorgana berkilau keindahan. Riba bukanlah sesuatu yang  dapat menyelesaikan masalah, juga bukanlah sesuatu yang dapat menambah manfaat kepada nilai kehidupan, hanyalah lebih kepada penambahan harta yang justru akan menyesatkan. Simak firman Allah dalam surah Ar-Rum (QS 30:39) di bawah ini :

“dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

   Buah-buahan yang terlarang adalah yang paling manis, sebuah peribahasa yang artinya sesuatu yang dilarang itu justru acapkali menimbulkan hasrat bagi kebanyakan orang untuk melakukannya. Begitulah kira-kira daya tarik yang terpancar dari sesuatu yang menghasilkan riba. Lalu bagaimana menghindarinya? Rasanya bagi orang-orang yang hidupnya kurang beruntung, memang tidak akan mungkin mendapatkan bantuan dari orang yang terlalu serakah akan harta kekayaannya. Ibarat berharap mendapatkan darah dari batu, hingga nangis bombaypun tidak akan pernah keluar. Akan tetapi Allah maha penyayang, sesungguhnya Dia tidak akan pernah membiarkan hambaNYA kelaparan selama kita berjalan pada koridor keimanan. Berdo’alah agar senantiasa dibukakan jalan keluar serta dilepaskan dari kesulitan. Sebagaimana firmanNYA dalam surah Al-An’am (QS 6:151) :

“…..dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,…..”

   Rentenir merupakan fenomena kehidupan, konsekwensi dari perilaku sosial yang kian akrab dengan nafsu duniawi. Keberadaannya bagai air mengalir, menyibak di antara keterpurukan dan kegemerlapan kehidupan manusia. Menyikapi hal ini, barangkali kita hanyalah bisa membatasi bukan mengatasi. Mari kita sentuh sedalam-dalamnya perasaan. Kalau tidak ada kepedihan, maka tidak akan ada kenikmatan. Pernahkah kita merasakan perih dan pedihnya kehidupan? Adakah kita menyadari bahwa kenikmatan yang kita dapatkan tidaklah akan abadi? Bukalah hati lebar-lebar, tengoklah lebih jauh ke dalam diri kita, siapa sesungguhnya kita dan siapa sesungguhnya yang menjadikan hidup kita beruntung di dunia ini. Agaknya tidak akan pernah rugi andaikan berbagi sedikit saja air penawar dengan mereka yang tengah dahaga. Mengakhiri tulisan ini, sepenggal bait syair lagu “kembali untukmu” yang dipopulerkan group Band Kotak kiranya mewakili kita untuk lebih jernih memaknai nikmat yang kita dapatkan.

Kuyakini nikmat yang kau beri
Segalanya kepadamu kan kembali
Kupejamkan sejenak mataku
Kubuka hatiku sebelum ku kembali
________