Selasa, 21 Oktober 2014

RAKSASA MEDIA



Oleh : Galuh Ratnatika

Sejauh mana pemahaman kita terhadap media? Bagaimana kita menanggapi media itu sendiri? Apa yang ada dalam pikiran kita, ketika melihat tayangan di televisi? Mengapa media sangat berpengaruh bagi masyarakat? banyak pertanyaan yang akan muncul ketika kita berbicara mengenai literasi media, atau pemahaman mendalam mengenai media, khususnya mengenai berbagai tayangan visual yang disajikan di televisi, yang ada di Indonesia. 

Benarkah media telah melakukan hegemoni terhadap masyarakat?

Hegemoni dapat disebut juga sebagai penjajahan yang tidak disadari. Banyak masyarakat Indonesia yang tidak menyadari bahwa sang Raksasa, atau media telah mengkonstruksi pola pikir mereka, melalui gambar visual yang disajikan semenarik mungkin. Mulai dari tayangan hiburan, iklan, bahkan pemberitaan yang kerap kali muncul di layar kaca dengan desain visual dan isi yang di setting sedemikian rupa.
Masyarakat yang tidak tahu apa-apa dengan mudah mengkonsumsi dan menyerap tayangan-tayangan tersebut tanpa adanya penyaringan. Meskipun tayangan tersebut sama sekali tidak berbobot. Bahkan kita tahu, terdapat banyak tayangan hiburan yang tidak memiliki nilai edukatif, yang targetnya adalah masyarakat menengah ke bawah. Seperti salah satu tayangan variasi show, yang membloking prime time, yang hanya menyajikan komedi-komedi kasar dengan gambaran kekerasan terhadap sesama komedian. Serta membagi-bagikan uang kepada masyarakat kecil dengan terlebih dahulu mempermalukan mereka di depan banyak masyarakat Indonesia yang menyaksikan acara tersebut. Seolah sang Raksasa lah yang berkuasa.
Pantaskah anak-anak di bawah umur melihat tayangan tersebut? Yang mungkin saja kekerasan itu dapat dilakukan terhadap temannya, dan berpikir bahwa hal itu adalah lucu. Pantaskah kita tertawa melihat mereka, rakyat kecil, dipermalukan hanya untuk selembar uang? Tidak seharusnya hal seperti itu dipertontonkan kepada masyarakat, khususnya anak-anak di bawah umur.
Tidak hanya variasi show, sinetron juga menjadi salah satu bentuk hiburan, yang lebih mengedepankan rating, dibanding pendidikan dan nilai moralnya. Banyak sinetron yang berlomba-lomba untuk menarik perhatian masyarakat, dengan alur cerita yang Islami. Sebuah gambaran tentang budaya dan ajaran Islam yang terlihat baik di mata masyarakat. menggunakan soundtrack dengan lagu Islam, memperlihatkan gadis-gadis dan wanita-wanita muslim dengan hijabnya. Menyajikan ustadz sebagai salah satu tokoh agama. Serta memperbanyak episode hingga ratusan.
Benarkah sebaik itu sinetron Islam yang ditayangkan? Saya pribadi mengatakan tidak. Mengapa? Sinetron bergenre religi yang kerap ditayangkan di televisi, hanya menggambarkan nilai Islam dari kulitnya saja. Cara berpakaian, kerap kali menunjukkan jenjang sosial. Dimana Si kaya menggunakan hijab yang berlapis-lapis, bermerk, dan terlihat sangat anggun. Dan Si miskin, hanya mengenakan hijab yang terlihat sangat biasa. Tentunya, setiap wanita yang melihat hal ini, akan mengikuti trend hijab Si kaya yang terlihat anggun. Apakah Islam mengajarkan seperti itu? Anda sendiri yang dapat menilainya. Lalu  bagaimana dengan jalan ceritanya? Pada dasarnya, sama dengan sinetron pada umumnya, ada Si antagonis dan ada Si protagonis. Bahkan alurnya pun terkesan monoton. Hanya ditambahkan unsur-unsur Islam di dalamnya.
Selanjutnya adalah iklan, yang menjadi makanan sehari-hari masyarakat dan dikonsumsi sebagai kebutuhan. Tentunya, iklan sangat berpengaruh besar dalam mengkonstruksi pola pikir masyarakat. benarkah iklan seperti itu adanya? Mungkin orang-orang periklanan lebih mengetahui, bagaimana iklan dapat dengan mudah menghegemoni masyarakat. Iklan membuat berbagai konstruksi, salah satunya adalah konstruksi gender, yang lebih menonjol dan menghantui para remaja khusunya. Contohnya, produk pemutih, penghitam rambut, pelangsing tubuh, produk pembentuk otot pria, peninggi badan dan sebagainya.
Dalam hal ini, iklan seolah mendoktrin masyarakat, bahwa feminitas dan maskulinitas yang sesungguhnya adalah seperti yang digambarkan dalam tayangan visual yang hanya berdurasi beberapa detik saja. Para remaja berburu produk-produk tersebut, hanya untuk membuktikan khasiatnya. Putih, tinggi, langsing atau berotot (untuk laki-laki), rambut panjang yang berkilau, adalah gambaran media terhadap sosok wanita cantik dan sosok pria tampan.
Bagaimana dengan masyarakat yang melihat tayangan tersebut? Berusaha memutihkan kulit, meninggikan badan, diet dan sebagainya, hanya untuk menjadi sosok sempurna yang digambarkan media. Pada kenyataan, cantik atau tampan tidak dapat digambarkan seperti itu. Bahkan sering kita lihat juga, iklan yang menjual Islam untuk mempromosikan produknya. Apa yang dijual? Lebih sering kita melihat, hijab lah yang dijual iklan tersebut, untuk mengikuti budaya pop di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Islam diperjualbelikan hanya untuk sebuah produk?
Beralih dari tayangan hiburan dan iklan, tayangan pemberitaan pun tidak luput dari skenario Sang Raksasa Media. Ketika media telah dikuasai sepenuhnya oleh Sang Raksasa, maka tidak ada lagi ideologi jurnalisme yang mengedepankan informasi aktual untuk kepentingan umum, tetapi lebih kepada kepentingan pribadi Sang Raksasa. Benarkah begitu? Menurut saya, iya. Mengapa? Karena saat ini media tidak terlepas dari parodi politik yang dibuat oleh para aktor politik itu sendiri, yang dengan gagahnya berdiri di belakang media.
Terlalu banyak intervensi dari kaum kapitalis terhadap jurnalisme di Indonesia. Tidak seharusnya media massa memberikan informasi yang berupa kepentingan pribadi semata. Bahkan terkadang menjadi salah satu masalah, atau sumber pemecah belah bangsa, ketika kepentingan politik dicampur adukkan di dalamnya. Sungguh miris, melihat media yang seharusnya menjadi sumber informasi masyarakat berubah menjadi medan perang politik.  Hal ini pula yang menyebabkan media massa Indonesia tidak semaju media massa di luar.

Siapa itu Raksasa Media? 

            Pertanyaan yang kerap kali muncul ketika kita berbicara mengenai hegemoni yang dilakukan media. Raksasa media adalah sebutan untuk para penguasa media, atau para kaum kapitalis yang mengendalikan media itu sendiri. Jika muncul pertanyaan, seberapa kejam penjajahan oleh kaum kapitalis kepada masyarakat? maka saya akan menjawab, hampir sama kejamnya ketika bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa Eropa. Hanya saja penjajahan saat ini, tidak disadari oleh masyarakat.
            Kita, masyarakat yang tergantung terhadap media, dijadikan sebagai target operasi penyerangan ideologi mereka (para kaum kapitalis) dengan senjata televisi. Siapa sangka, bahwa masyarakat dapat dengan mudah dijajah, didoktrin, disuguhkan dengan tayangan yang terkesan manis namun kejam, dan kemudian diperas untuk mencari keuntungan semata.
            Seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Bahwa media saat ini lebih mengedepankan ratting yang tinggi dibanding mengedepankan pedidikan dan nilai moral. Benarkah begitu? Menurut saya, iya. Karena media saat ini benar-benar banal atau sama sekali tidak berbobot. Media juga kerap dijadikan sebagai bentuk pencitraan dan mesin kasir. Yang mana korbannya adalah masyarakat awam. Itu semua, tentunya untuk mengembalikan keuntungan mereka (para kaum kapitalis), orang-orang yang bersembunyi dibalik media.
            Lihatlah bagaimana semua pertelevisian swasta di Indonesia berdiri di bawah kekuasaan Raksasa Media, yang tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang yang juga terlibat dalam politik. Tentunya media dan politik sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, terlebih ketika mereka mendapatkan perhatian masyarakat yang tidak memahaminya.

Dan apa itu literasi media?

            Seperti yang sudah ditulis. Literasi media adalah suatu pemahaman mendalam mengenai media. Dimana masyarakat dituntut untuk mengetahui seluk beluk media yang ada di Indonesia, serta dapat mengkritisi media itu sendiri. Luar biasa bukan? Melihat media berkuasa dan melakukan hegemoni terhadap kita, masyarakat. Sedikitnya itu yang dapat saya sampaikan. Selebihnya tergantung bagaimana anda menilai media, dan menjadi penonton yang cerdas dan kritis. Cerdas dalam mengkonsumsi tayangan dan kritis dalam menilai.

Rabu, 17 September 2014

DI BALIK DIDING KEMEWAHAN



Oleh : Zamid al Zihar



    
Pict : rio-mamdoeh.blogspot.com
     Kesenjangan sosial di Indonesia yang kita cintai ini sepertinya sudah menunjukkan jarak yang semakin jauh. Dari permukaan kita bisa melihat wajah kehidupan yang begitu mewah, kehidupan yang terbingkai gemerlap keduniaan, kehidupan yang seolah tidak pernah mengenal kesulitan, kehidupan yang dengan segala penampilannya bergaya jetset. Namun jika melangkah lebih jauh menyingkap sisi permukaan lainnya, maka kita akan melihat pemandangan kehidupan yang begitu kontras perbedaannya, kehidupan yang mengharu biru, kehidupan yang jauh dari kelayakkan bahkan teramat memprihatinkan. Dua sisi keadaan kehidupan yang sangat bertolak belakang di mana orang-orang kaya dengan leluasa memanjakan haknya menghambur-hamburkan uang, sementara orang-orang miskin dengan nafas tersengal terpapah-papah mengais nafkah meski hanya untuk sesuap nasi saja.

   Potret kehidupan orang-orang yang jauh di bawah garis kemiskinan, sering kita lihat dalam tayangan beberapa media elektronik, diantaranya ada keluarga yang sudah bertahun-tahun mempertahankan kehidupannya dengan hanya mengkonsumsi gaplek, ada juga yang hidup di bawah naungan atap seadanya, anak-anak terlantar dan kelaparan, belum lagi kisah-kisah tragis lainnya seperti kisah sekeluarga yang bunuh diri karena putus asa menanggung derita, seorang bapak harus menginap di sel tahanan karena mencuri demi sesuap nasi untuk mengganjal perut keluarganya, ada juga orang-orang yang sekian lama terbebani oleh penyakitnya karena tidak mampu untuk berobat dan masih banyak lagi yang lainnya. Begitu juga banyak mengenai kemiskinan yang diangkat mas media, di antaranya Pikiran Rakyat (10/04/2011) melansir sebuah keluarga di Sukabumi yang sudah enam tahun menjalani kehidupannya di kandang kambing, ada lagi di Bandung Barat seorang nenek yang terpaksa makan kardus bekas karena tidak mampu membeli obat untuk mengatasi penyakitnya. Mengenaskannya lagi seperti yang dikutip media yang sama (17/02/2011), warga miskin dipersulit bahkan ditolak berobat oleh hampir semua Rumah Sakit. Benar-benar sebuah penistaan.

   Sejauh ini sepertinya keadaan tersebut tidak tertuang dalam catatan atau laporan resmi para penguasa negeri ini, melainkan hanya merangkum sebatas sisi kehidupan yang baik-baiknya saja. Bisa dimaklumi karena hal ini sangat berpengaruh kepada prestasi kinerja mereka yang apabila mencantumkan kenyataan yang ada tentunya akan menunjukkan bentuk ketidak-berhasilan. Dalam pemandangannya secara umum selalu menampakkan kemajuan yang baik, berkamuflase dengan seolah meraih keberhasilan dalam segala bidang terutama mengentaskan kemiskinan. Memang memimpin tidaklah semudah menulis teori, tapi paling tidak tertanam adanya sebuah kejujuran. Seperti pepatah mengatakan : to rule is easy, to govern is difficult. Berkuasa itu mudah, tetapi memimpin bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan orang banyak, tidak lantas menutupi keburukan hanya semata mencari kebaikan diri sendiri untuk tujuan meraih keduniaan. Itulah barangkali mengapa di negeri ini rentan kejahatan, rentan terhadap ketidakpuasan rakyatnya dengan mengaktualisasikannya secara radikal, sebab kenyataan yang ada para pemimpinnya lebih mementingkan diri sendiri serta merta bergelimang dengan kejahatan, sementara masalah yang parsial seperti kemiskinan terabaikan yang kesemuanya itu mengundang kejahatan. Benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan sepeninggalku adalah terbukanya lebar-lebar kemewahan dan keindahan dunia atas kamu sekalian.” (HR.Bukhari-Muslim).

   Andai saja Allah menawarkan dua pilihan kepada manusia yang bisa langsung diraih antara hidup bergelimang kekayaan dan hidup dengan kemiskinan, sudah bisa dipastikan siapapun tidak akan ada yang memilih kemiskinan. Namun sayangnya tidak demikian, karena sesungguhnya Allah telah menentukan takdir seseorang yang kita sendiri tidak mengetahuinya, bahkan terkadang banyak yang tidak pernah mau memahaminya. Allah menjadikan seseorang kaya atau miskin bukanlah berarti lepas begitu saja dengan segala kebebasan menentukan sendiri langkahnya, akan tetapi tentunya dibatasi oleh kewajiban yang apabila tidak dipatuhi maka akan ada perhitungannya kelak di akhir kehidupan. Kekayaan akan menghisab apabila tidak dipergunakannya di jalan Allah, begitu juga sebaliknya kemiskinan akan membelit apabila tidak dijalaninya dengan ketawakalan. Kaya dan miskin adalah keseimbangan kehidupan yang dibuat oleh Allah sedemikian rupa, di mana sesungguhnya di antara keduanya ada hubungan timbal balik yang saling melengkapi.

   Allah Yang Maha Agung tidaklah semata memerintahkan sesuatu kepada manusia dengan segala peraturan-Nya, melainkan adanya kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Dalam hal ini manusia diberikan mandat dan kepercayaan untuk mengelola bumi serta seisinya, sedangkan al-Qur’an sebagai undang-undangnya yang merupakan pedoman langkah manusia baik dalam hubungannya dengan Dia, dengan sesama manusia, maupun dengan alam semesta yang mencakup berbagai tumbuhan serta binatang. Adapun pengadilannya jika terjadi suatu pelanggaran adalah merupakan Kekuasaan-Nya kelak di tempat abadi. Demikian manusia yang diciptakan berkelompok, berbangsa-bangsa dan bernegara, dalam menjalankan kepercayaannya juga membuat undang-undang tersendiri, entah masalah syariat, politik, ekonomi maupun ketentuan lainnya ada di dalamnya.

   Namun sayangnya manusia begitu mempercai dan mengagungkan undang-undang yang telah dibuatnya, tanpa mengetahui kehidupan yang hakiki melainkan hanya lahiriyah saja dan lebih kepada keduniaan, sehingga dalam aktualisasinya banyak sekali ketidak adilan. Sebut saja di negeri ini, Indonesia yang kita cintai, moralitas para perangkat pengendali pemerintahan hampir semuanya tertutup kabut hitam yang tebal. Mereka berlomba untuk dapat memenuhi kepentingannya sendiri secara berlebihan, sementara melalaikan apa yang diperintahkan-Nya. Terhadap kepentingan orang lain misalnya, seakan hilang dari keperdulian. Adapun perduli sepertinya tidak lebih dari mengandalkan apa yang tersurat dalam undang-undang tersebut, dan kebanyakan tidak menyentuh kepada nurani, sebagaimana Allah berfirman :

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum, QS 30 : 7).
  
   Nu’man bin Basyir ra. berkata : “Umar bin Khaththab ra. menceritakan tentang keadaan orang-orang yang begitu getol mengumpulkan dunia (harta), kemudian menceritakan tentang Rasulullah SAW yang pernah lapar sehari penuh, tidak tersedia apa-apa untuk mengisi perutnya walaupun sebutir korma yang paling buruk.’” (HR.Muslim).

   Hadis tersebut menunjukkan keadaan terbalik, di mana seorang pemimpin besar seperti Rasulullah SAW kehidupannya begitu bersahaja jauh di bawah umatnya. Beliau lebih mementingkan kesejahteraan umatnya, dan untuk itu semua beliau rela hidup seadanya. Sebagai manusia biasa, mungkin kita tidak akan mampu seperti beliau, namun setidak-tidaknya kita bisa menteladaninya. Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berzuhud dan berbuat baik, andaikan saja kita mau mengamalkannya, niscaya keseimbangan akan terjalin erat dengan ikatan yang saling menguntungkan, bahkan bisa jadi di negeri ini tidak akan ada lagi dinding kemewahan yang menutup dan membatasi perbedaan. Dengan kata lain orang-orang yang kehidupannya berlebih akan membuka hati dan senantiasa memperhatikan serta membantu memecahkan kesulitan orang-orang miskin, begitu juga sebaliknya orang-orang yang bernasib kurang baik tentunya akan senantiasa menghargai dan menghormati orang-orang yang bernasib baik. Lalu mungkinkah keadaan terbalik ini akan terjadi di negeri ini? Wallahu’alam bishahab. ***

Rabu, 10 September 2014

Menjaga Kerukunan Antar Agama



Oleh : Zamid al Zihar

  
Masyarakat di negara tercinta kita terdiri dari berbagai suku, berbagai tradisi dan berbagai keyakinan (agama). Menyebar di berbagai pulau yang terangkai dalam ikatan kesatuan. Ikrar kebersaman selalu menggema dalam membela hak tanah air. Gambaran persada dari sabang sampai merauke yang sarat akan gemerlap mutu manikam senantiasa menjadi lambang kemakmuran. Aman, nyaman dan tenteram, itulah realita Indonesia yang selalu menjadi kebanggaan dan menjadi perhatian masyarakat dunia. Suasananya begitu terasa dingin dan sejuk serta penuh kedamaian. Namun adakah keberadaan yang begitu indah tersebut masih kita rasakan seutuhnya saat ini?

   Bisa kita katakan kalau saat ini suhu atmosfir Indonesia terasa berbeda. Seiring pertumbuhan masyarakat dengan berbagai ideologi serta ilmu dan ”conceptual skill” yang semakin berkembang, maka terjadi adanya fluktuasi perubahan cuaca yang tidak menentu. Terkadang sejuk berubah panas atau sebaliknya. Gejolak sosial karena faktor suhu politik, ekonomi dan lain-lain sering terjadi bukan saja di pusat pemerintahan bahkan di berbagai wilayah. Itulah barangkali yang dinamakan proses reformasi. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa semua itu terjadi karena konsekwensi dari perubahan sistem. Ada juga yang menganggap bukan karena sistem, tetapi karena moralitas manusianya yang semakin keropos. Dan banyak lagi anggapan-anggapan lainnya yang berbeda-beda.

   Dinamika sosial yang terjadi dalam proses perubahan tatanan kepemerintahan mungkin bisa dikatakan lumrah adanya, akan tetapi hal yang sangat memprihatinkan bahkan merusak perdamaian serta menodai persatuan adalah munculnya karakter sosial yang menggeser tujuan dari kepentingan sosial secara umum menjadi kepentingan agama. Seperti yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah beberapa lama berselang adanya gesekan sosial antar komunitas agama bahkan secara fisik. Belum lama di Bekasi, saling menghina dan nyaris terjadi adu fisik. Di internet dalam situs-situs lokal tertentu sepertinya sudah bukan lagi dianggap hal tabu, tulisan saling menghujat dengan bahasa-bahasa yang tidak pantas. Dan banyak lagi kejadian-kejadian lainnya yang terselubung. Jelasnya pertikaian antar Islam dan Nasrani. (Saya sendiri pernah membaca tulisan seorang “oknum” penganut kristen yang di cetak oleh teman saya dari salah satu blog di internet, isinya penuh hujatan dan  penghinaan kepada islam yang begitu menyakitkan). Dalam hal ini islam selalu saja di cap sebagai pengacau, lebih-lebih jika dikaitkan dengan munculnya yang disebut “teroris”, karena tidak sedikit kalangan menganggap bahwa “teroris” identik islam.    

   Anggapan yang keliru, karena sesungguhnya islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam bukanlah agama yang radikal sebagaimana yang digambarkan oleh banyak orang dari kalangan berbeda. Islam lebih mengutamakan perdamaian, bahkan menganjurkan agar berbuat baik terhadap sesama manusia tanpa memandang golongan, kecuali kalau golongan dimaksud menghina dan memerangi islam. Sebagaimana Allah berfirman :

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Al-Mumtahanah, QS 60:8)

   Perbedaan keyakinan antar komunitas pada kehidupan manusia saat ini tidak lebih disebabkan karena masing-masing komunitas atau golongan berpijak dari rangkaian akar kehidupan sosial yang berbeda. Turun temurun para pendahulu yang mengakar seakan berlapis membuat keyakinan ajarannya semakin kuat menyelimuti setiap jiwa masing-masing golongan. Oleh karena itu tidaklah seharusnya saling hujat dan saling salah menyalahkan secara terbuka, bahkan saling mengklaim yang terbaik, karena tentunya masing-masing membawa pusakanya sendiri sebagai warisan para leluhurnya, sehingga masing-masing merasa berpendirian kepada sesuatu yang benar. Memang ini masalah agama, masalah keyakinan ketuhanan yang tentunya erat kaitannya dengan masalah keharusan menyampaikan suatu kebenaran, akan tetapi dilakukan dengan perbuatan dan perkataan yang baik tentunya akan lebih baik. Allah SWT tidak pernah mengajarkan bermusuhan, bahkan juga tidak pernah melarang umat-Nya berkawan dengan pihak manapun, kecuali dengan orang-orang yang memerangi agama-Nya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya :

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang........ Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”(Al-Mumtahanah, QS 60:7,9)

      Lalu bagaimana dengan “teroris” yang senantiasa dicap sebagai monsternya islam? Teroris bisa diartikan sebagai penyebar rasa takut atau rasa tidak nyaman. Teroris yang membawa bendera agama dengan mengatas-namakan jihad hanyalah perilaku segelintir orang atas pemahaman pembenaran ajaran dengan cara-cara yang keliru. Begitu banyak korban yang tidak berdosa akibat cara-cara seperti itu, belum lagi begitu besar nilai kerugian materil dari kerusakan fasilitas milik rakyat. Padahal islam adalah agama yang penuh toleransi dan sama sekali tidak pernah mengajarkan membunuh dan merusak. Simak firman Allah berikut :    

“dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas..........dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah, QS 2:190,193)

   Adanya perintah berperang karena adanya orang-orang yang memerangi agama Allah. Ketika jaman turunnya wahyu, banyak orang-orang kafir yahudi yang menghina, mengejek, menganiaya bahkan membunuh orang-orang islam. Padahal Rasulullah SAW sendiri dalam menyampaikan ajarannya senantiasa dengan tutur kata yang lembut, jauh dari kekerasan. Mereka memandang islam sebagai duri yang menghalangi kekuasaannya saat itu. Kehadiran islam seolah pembawa malapetaka, karena ternyata banyak dari kalangannya yang keluar dan mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Kekejaman orang-orang kafir terhadap pengikut ajaran Rasulullah SAW pada saat itu sudah melebihi batas dan tidak bisa ditolelir lagi. Itulah sebabnya Allah SWT melalui Rasul-Nya memerintahkan agar membela dan mempertahankan ekistensi agama-Nya dengan berperang melawan kezaliman kafirullah serta menghalalkan membunuh hingga orang-orang kafir yang zalim itu berhenti menebar permusuhan.

   Sifat permusuhan yahudi sepertinya sudah mengakar hingga saat ini seperti halnya yang terjadi di Palestina, seolah konflik yang tidak akan pernah berakhir. Perilaku yahudi yang berlebihan bahkan boleh dikatakan keterlaluan dan biadab seringkali dilakukannya, semisal penyerangan terhadap kapal pembawa misi kemanusiaan. Terhadap hal ini bukan saja islam, akan tetapi agama lainpun tentunya mengecam keras. Itulah barangkali yang seharusnya diperangi dan disanalah ladangnya jihad, bukannya di Indonesia yang jauh dari perilaku permusuhan. Dalam Al-Qur’anul Karim Allah berfirman :

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (Al-Maidah, QS 5 : 82)

“dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. ...... “ (Ali Imran, QS 3 : 105)

   Dengan demikian tidaklah ada alasan untuk saling bermusuhan. Islam dengan Hari Raya Idul Fitrinya, Kristen dengan Natalnya, Budha dengan Waisaknya, Hindu dengan Menyepinya, Kong Hu Cu dengan Toapekongnya dan lain-lainnya adalah wujud dari keragaman keyakinan yang ada di Republik ini. Islam mempunyai cara tersendiri dalam berperilaku menghargai agama lain, begitupun sebaliknya. Adapun perilaku dalam cara-cara menghargai satu sama lain kemungkinannya ada yang berlawanan dengan ajaran masing-masing, tidaklah harus diembel-embeli oleh prasangka negatif. Biarkan berjalan pada relnya masing-masing tanpa harus saling bergesekan. Agamaku adalah untukku dan agamamu adalah untukmu. Tanamkan rasa persahabatan dan saling harga menghargai. Syiar kebenaran dan kebaikan tentunya bisa dilakukan dengan cara yang baik, bukan dengan cara menyulut api di antara ladang-ladang bensin yang hanya akan menebar panas di mana-mana. Bukankah kita menginginkan kedamaian, kenyamanan dan ketenteraman?

   Mari kita tengok lebih jauh ke dalam diri kita sendiri. Sudahkah kita berbuat kebaikan untuk diri sendiri dan untuk orang lain selama hidup ini? Sudahkah kita berakhlak baik sesuai dengan yang diisyaratkan oleh agama kita masing-masing? Mari kita renungkan, bahwa sesungguhnya kedamaian, kenyamanan dan ketenteraman berpangkal dari hati kita sendiri. Mari kita membuka hati lebar-lebar dan menjernihkan pikiran guna menyatukan visi dari sisi keyakinan yang berbeda, tentunya untuk kita dan untuk kedamaian negeri tercinta kita Indonesia.

      Kesalahan dan kekurangan hanyalah semata-mata milik manusia, kebenaran dan kesempurnaan tentunya milik Allah SWT. Maha Suci Allah yang menguasai seluruh jagad alam raya, yang memiliki kerajaan langit dan bumi, yang menetapkan segala kebaikan dan keburukan, semoga mencurahkan Rahmat dan Hidayah-Nya serta  menganugerahkan seberkas cahaya-Nya guna menerangi hati yang penuh kegelapan ini, sehingga akan menjadikan terang benderang. Amin.