Oleh : Zamid al Zihar
Terkadang kita beranggapan bahwa tamu adalah sesuatu yang menyusahkan terutama
jika tamunya itu bukan orang yang sudah dikenal dekat seperti saudara, tetangga
ataupun teman dekat lainnya, karena tentunya selain harus menyisihkan waktu
untuk melayani keperluannya (ngobrol), juga biasanya harus menjamunya dengan setidak-tidaknya
menyuguhkan segelas air putih. Terlebih lagi bila datangnya pada saat-saat kita
dalam kondisi tidak siap menerimanya karena suatu kesibukan ataupun sedang
istirahat. Seperti dalam guyonan orang sunda, di mana tamu atau bahasa sundanya
“semah” seringkali diartikan dalam ungkapan kirata “ngahesekeun nu boga imah” artinya “menyusahkan yang punya rumah”. Padahal
seandainya kita memahami akan hal yang sesungguhnya, maka bisa jadi dalam
kondisi apapun kita akan sangat menyenangi terhadap setiap kedatangan tamu.
Pada dasarnya tamu adalah orang yang datang atau berkunjung ke rumah
kita dengan cara yang baik-baik, tidak terkecuali orang itu sebelumnya dikenal
ataupun tidak dikenal, saudara ataupun orang lain, diundang ataupun tidak
diundang, bahkan muslim ataupun non muslim. Siapapun tamu sesungguhnya adalah
sesuatu yang membawa berkah dan sesuatu yang akan mendatangkan pahala. Dalam
hubungannya dengan orang yang bukan muslim, ajaran Islam tidaklah memilah-milah
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an :
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (Al-Mumtahanah,
QS 60 : 8).
Itulah keberadaan tamu, sebagaimana Ibnu Abas radhiyallahu ‘anhuma
mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda :
“Jika ada tamu masuk ke dalam rumah seorang mukmin, maka akan masuk
bersama tamu itu seribu berkah dan seribu rahmat. Allah akan menulis untuk
pemilik rumah itu pada setiap kali suap makanan yang dimakan tamu seperti
pahala haji dan umrah.”
“Satu dirham yang disedekahkan oleh seorang lelaki kepada tamunya,
(nilainya) lebih baik dibanding seribu dinar yang didermakan di sabilillah.
Barang siapa memuliakan tamu dengan ikhlas karena Allah, maka Allah Ta’alla
akan memuliakannya di hari kiamat nanti dengan seribu kemuliaan. Allah
membebaskan dia dari neraka dan memasukannya ke dalam surga.”
Dalam riwayat hadis lainnya
ditegaskan bahwa tamu juga membawa rezekinya sendiri serta merta membawa
sesuatu yang akan menjadikan terhapusnya dosa pemilik rumah, sebagaimana
dikatakan oleh Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah SAW bersabda :
“Wahai sekalian manusia, janganlah kalian membenci tamu. Karena
sesungguhnya jika ada tamu yang datang, maka dia akan datang dengan membawa
rezekinya. Dan jika dia pulang, maka dia akan pulang dengan membawa dosa
pemilik rumah.”
Demikian juga yang diriwayatkan
dalam hadis Ali Ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa kepada Ali beliau
bersabda :
“Wahai Ali, jika kamu dikunjungi oleh tamu, maka ketahuilah bahwa Allah
Ta’ala telah memberikan anugrah kepadamu. Sebab Dia telah mengutus sesuatu yang
bisa menyebabkan dosamu diampuni.”
Bukan itu saja, bahkan cahaya
kebaikannya akan menyinari bukan saja hanya kepada pemilik rumah, akan tetapi
juga kepada semua orang yang menghuni rumah tersebut, seberapapun banyaknya dan
seburuk apapun keimanan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat
Mu’adz Ibnu Jabal ra. :
“Tidak ada satu rumahpun yang dikunjungi oleh tamu, kecuali Allah
Tabaarak wa Ta’ala mengutus ke rumah tersebut satu malaikat yang menyerupai
burung selama empat puluh hari sebelum tamu itu sampai. Malaikat itu akan
menyeru : ‘Wahai pemilik rumah si fulan ibn si fulan, tamu kalian akan dating
pada hari ini dan itu. Sedangkan balasan dari Allah adalah ini dan itu.’ Para malaikat yang diwakilkan untuk menjaga rumah itu
berkata : ‘Setelas balasan apa lagi yang akan diterima?’ Maka keluarlah
malaikat tadi kepada mereka dengan membawa sebuah catatan yang tertulis :
‘Allah telah mengampuni penghuni rumah tersebut, meskipun jumlah mereka
seribu.’”
“Tidak ada seorang hamba mukminpun yang memuliakan seorang tamu ikhlas
karena Allah Yang Maha Dermawan, kecuali Allah akan memperhatikannya sekalipun
dia berada di antara kerumunan orang. Seandainya tamu yang datang termasuk ahli
surga dan pemilik rumah ahli neraka, maka Allah Ta’ala menjadikan pemilik rumah
tersebut termasuk ahli surga karena telah memuliakan tamunya.”
Tentu saja pahala yang begitu besar nilainya itu tidak akan pernah kita
peroleh, kecuali jika kita mau menghargai dan menghormati tamu tersebut dengan tulus
dan ikhlas yang ditunjukkan bukan saja dengan hanya berperilaku dan bersikap baik,
akan tetapi juga dalam hal jamuan yang disuguhkanpun hendaknya berasal dari
barang-barang yang baik (halal). Begitulah keharusan memuliakan tamu yang
diisyaratkan bagi orang-orang beriman, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia
memuliakan tamunya.” (HR.Muslim).
Tentang jamuan makanan, Ibnul Jauzy dalam bukunya “Sukses Meraih Surga”
membagi jamuan makanan menjadi tiga macam yakni makhluf (akan diganti), masluf
(berlalu begitu saja) dan matluf (lenyap
tidak dihiraukan). Jamuan makhluf
adalah makanan yang disuguhkan ikhlas karena Allah, di mana pemilik makanan
sama sekali tidak berniat selain Allah dan tidak mengharapkan adanya balasan.
Jamuan masluf adalah jamuan yang
disuguhkan atas dasar timbal balik atau balasan terhadap perlakuan yang sama
yang dilakukan oleh tamu tersebut ketika kita bertamu kepadanya. Sementara
jamuan matluf adalah segala jamuan
yang disuguhkan untuk tujuan maksiat yakni jamuan yang berasal bukan dari
sesuatu yang halal, misalnya minuman keras atau barang yang tidak diridhai
Allah lainnya. Untuk jenis jamuan makhluf
dan masluf dapat mendatangkan pahala
bagi pelakunya, hanya saja jamuan makhluf
memiliki kadar pahala yang lebih besar dari jamuan masluf. Sedangkan jamuan matluf
baik terhadap pemilik maupun tamunya akan menjadikan penyesalan dan kerugian
kelak pada hari kiamat.
Begitu mulianya balasan Allah kepada orang yang senantiasa memuliakan
tamunya. Begitu besarnya anugrah yang dilimpahkan-Nya. Sehingga agar umatnya
senantiasa tidak bosan dalam menghormati tamunya, maka Rasulullah SAW menganjurkan
untuk tidak berlebihan dalam menyediakan jamuan, karena hal ini akan membuat jemu dan bosan. Sebagaimana
diriwayatkan dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa kepada Aisyah beliau
bersabda :
“Wahai Aisyah, janganlah kamu terlalu berlebih-lebihan (ketika menjamu)
tamu sehingga hal ini membuatmu bosan.”
Bagaimana dengan tamu yang datang
dengan tujuan tidak baik? Memang tidak semua tamu membawa niat baik meskipun
datangnya dengan baik, adakalanya mereka datang dengan maksud tidak baik misalnya
mengajak kemaksiatan, mengajak membicarakan keburukan orang lain (gibah), menipu
untuk mendapatkan keuntungan, memaksa untuk mengambil harta benda dan lain
sebagainya. Katakanlah kita tertipu oleh kedatangannya dengan penampilan dan
sikapnya yang baik, maka terhadap orang-orang yang demikian hendaklah semampu
kita untuk berusaha menghindarinya dan bila perlu bersikaplah tegas. Allah Maha
Mengetahui dan Maha Melindungi, cukuplah kepada-Nya memohon pertolongan, sementara
pahala terhadap niat baik yang telah kita gulirkan tidak akan menjadi sia-sia
dan akan senantiasa tetap tercurah. Sebagaimana Allah SWT berfirman :
“Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya Cukuplah
Allah (menjadi Pelindungmu). Dia-lah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya
dan dengan para mukmin.” (Al-Anfal, QS 8: 62)
“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Yusuf, QS 12 : 115)
Begitu juga ketika kita bertamu, Allah SWT tidak akan melepaskan kita
dari curahan kebaikan tentunya jika kita mau memperhatikan etika-etika tertentu
dalam adab bertamu sebagaimana firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (An-Nur QS 24 :
27).
“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu
masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu ‘Kembali
(saja)lah”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nur QS 24 : 28).
“Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk di
diami, yang di dalamnya ada keperluan, dan Allah mengetahui apa yang kamu
nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (An-Nur QS 24 : 29).
Begitulah ajaran Islam, baik bertamu terlebih memuliakan tamu telah digariskan
oleh Allah SWT dalam sebuah ketentuan yang tentunya akan membawa kita kepada
kebaikan, serta anugrah yang dilimpahkan-Nya begitu indah.*****